BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Rabu, 11 April 2007

Gerilya Volume 3


The Black Cat is back!!!
Diawali dari sekadar iseng sampai pada detik ini, GERILYA dari edisi ke edisi semakin mengukuhkan namanya di peta ajang kreativitas, khususnya dalam hal ini tulis menulis. We all the crew who will stay true.
Buktine lo, perhatian dan partisipasi dari teman-teman terus mengalir, suwon yo rek!.

Tapi, ada satu yang pengen kita sampein kali ini.
GERILYA lo, hanya baru dapat kritikan-kritikan lisan, bukane nyombong lo ya? ‘cuz seperti pepatah bilang, “lebih baik nyombong dari pada minder”. Jadi gini, dari teman-teman pembaca, apa ga’ ada yang mo nulis kritiknya? Ngajak diskusi tentang karya ta? Bikin seminar kecil-kecilan ta? Biar apa yang kita lakukan selama ini lebih mantab kale’!? Hyuk! Yooo.. Pokoknya sampe’ kapan pun, yang semacam itu masih ditunggulah. Kita lo juga bakal dengan berani mempertanggung-jawabkan tulisan-tulisan kita. Laapo wedhi?!!

Api ini akan tetap membara.
Dengan tidak melupakan semangat dan komitmen awal kita, GERILYA, Berjuang Independen. selain sebagai sebuah wadah kreasi, rekreasi dan pembawa pesan (messenger), kita juga menyampaikan isu-isu terkini. Kita masih akan terus bereksperimen dan mencari bentuk yang sebisanya dan sedekatnya dapat mewakili masyarakat penikmat GERILYA.
SLIK!
HAHAHAHA...

Perjuangan tak pernah berakhir!!!




Cursing Aphrodyte

DAMN YOU Aphrodyte!
You bare a son that drives me crazy!
He walked in that night into my chamber
Whispering something, interrupting slumber

HE SAID :
“With this kiss I give to thy bosom,
thou shall not be lonesome.”
Then he kissed my bare chest
AND DAMN! That was the best

Starza
English Literature ‘04


My Black Naked Rose

Deru deras sebening kristal, melukis lekukan kabut yang kau pasang
uap lepas tersengal-sengal, menghias permukaan lembut yang kau pajang
hawa panas terbanting kental, mengais deburan laut yang kau tantang
gila ganas terpental-pental, pemuas hamparan rambut yang kau pandang.

Air mengucur
Air turun
Air terjun
Air hancur...

Semua telah keluar
Nyanyian koar-koar
Iman liar
Tak berpijar

Wewangian kuburan hanyut dalam semerbak bunga malam,
Hiruk pikuk asap kamboja membatik dalam bujur kamar nafsu.

9.17 PM
Des, 16th ’06
relleT


Satu Satu Tujuh

Gemerlap meriahnya pesta di tahun baru
Awal petaka tanah kelahiranku
Aku mendengar jerit dan tangis
Saudaraku di dalam sebuah pesawat
Selalu dan selalu bangsaku cacat
Dalam sejarah. Menghancurkan
Cita-cita membawa kisah
Air mata... Air mata...
Cukupkah Tuan-tuan hanya duduk-duduk saja
Ataukah hanya ucapkan belasungkawa
Aku bosan, aku muak!
Kapankah nestapa bangsaku ‘kan berakhir?
Mungkinkah Tuhan sudah mulai murka
Ataukah umatnya yang tak lagi mengakui Tuhannya!
Bumi Pertiwi kini menangis lagi
Cobaan dan penderitaan datang silih berganti
Banjir dan tanah longsor selalu menghiasi
Mayat-mayat berserakan, bangkai pesawat
Seakan-akan lemparkan amarah
Menangis negeriku
Menjerit Indonesiaku.

Fans Fals ‘04


Sungguh Benar

Sesungguhnya...
Sesungguh-sungguhnya yang sungguh-sungguh
Tak lebih sungguh-sungguh
Dari yang benar-benar tak sungguh-sungguh
Dari yang sesungguhnya

Sebenarnya...
Sebenar-benarnya yang benar-benar benar
Tak lebih benar-benar benar
Dari sungguh-sungguh benar
Dari yang sebenarnya.

070107
00:15:56
Dwipa


Aku, kamu, diriku dan dirimu
Aku adalah diriku
Kamu bukan diriku
Itulah aku.
Kuelak dengan segala usahaku
Benci, jijik kutatap wajahmu
Maukah kau merobek bayangmu
Mati lebih berarti bagimu
Percuma cegah kau dengan segala susah
Semua persetan dengan sumpah serapah
Lupakan semua sesalmu
Tak usah kau risau
Apapun itu bentuk punggungmu
Ku tahu di sana kau simpan ala kisah

S. H. W.



Kau

Iseng
Iseng iseng
Iseng iseng
Iseng iseng
Iseng iseng
Iseng yah ternyata cuma iseng

(Da’an)


Lonjrot

Ketika aku berdiri
Aku melihat seekor tikus sedang bercinta
Inginku seperti dia
Menikmati walau dilihat banyak orang
Tak tahu mana rasa mana dosa
Tikus yang lonjrot

G46uK
Ser ‘04

Surealisme Cinta

Mengimani secuil syahwat yang ranum
Aku memasuki lorong pendiamanmu, sebuah episode
Kering dan petak-petak sepi
Seribu dingin luruh bersama gairah runtuh
Katakanlah, bagaimana keresahanku bercampur
Dengan kegelisahan para pemadat
Aku sayat perutku, serupa mimpi patung-patung
Dan malaikat bersayap perang tanding
Tapi biar aku mengintipmu, revolusi bunga
Di tengah sesembahan tanpa rupa
Sebab, ruang yang kuimpikan telah musnah
Mataku tertutup, kemesraanmu lebih ganas
Dari sengat matahari.

Aku kembali pada rahimmu, jalan
Setapak nanar, tempatku tumbuh mencemburui
Kerinduan. Kubayangkan ilusi mayat mabuk terbang
Atau gedung-gedung menghardik tidurku, fantasiku
Bergayut dengan pohon tumbang. Sebentuk surealisme cinta
Yang patah atau kuburan kupahat dalam bayangan
Putih. Sebab selalu kuimpikan
“Tak ada cinta untuk esok hari”

Januari 2007
Dody Kriswaluyo


Hancur

Rampungkan semua ayat-ayat yang kau baca
Jika seterusnya kau tak lagi mampu
Nikmati sajak itu meski hanya sejenak saja
Maka tetapkan detak hatimu untuknya
Hanya untuk sebuah kenikmatan sekejap
Dirimu akan datang ke sana bersamanya
Beserta ribuan bayangan dalam angan
Lalu dengarkan buai angin neraka itu
Yang begitu akrab terdengar oleh telingamu
Terimalah semuanya dengan hati tertawa
Teriakan itu akan terasa begitu sumbang
Saat tak lagi kau jumpai di dalam kerapuhan
Diamlah!
Jangan lagi mencoba dekati langsiran hati
Yang dalam dongeng selalu terkisah indah
Teriakkan saja parau dan galau suaramu
Di puncak menara suar keheningan dunia
Niscaya mereka akan mencoba temukanmu
Meski telah hampa, tanpa sehelai nyawa

Surabaya ‘07
Adhany Hakim



Membelah Diri


Kali ini biarkan aku mempersilahkanmu masuk ke duniaku, dimana ruang dan waktu tak lagi berarti. Ujung ke ujung, atas dan bawah, rapi dan kacau. Dalam kemanusiaanku atau kebinatanganku, bebas kendali hanya itu. Dalam kekayaanku atau kemiskinanku, aku tak lagi peduli. Kepandaian atau kebodohan bukan bagian dari diriku yang ada hanya kebenaran dan kemenanganku. Dan jangan pernah mempertanyakan tentang keteraturan kepadaku, aku tak pernah mengenal kata itu.

Hari ke hari, waktu ke waktu seperti inilah perjalananku, entah ini akan kusebut keberhasilan atau kemunduran,
hidup untuk mencapai kehidupan, atau hidup hanya untuk menunggu kematian, tak ingin kutentukan semua itu, tak ada untungnya, pada akhirnya semua itu hanya sebuah istilah.
Hanya saja aku telah melewati begitu banyak hal dalam hidup, ombak demi ombak, badai demi badai, perang-perang itu, kemenanagan-kemenangan itu, kehebatan-kehebatan itu. Yah.. sekali lagi, kehebatanku.
Karena aku tak pernah kalah, aku tak pernah jatuh, aku tak pernah..., maksudku aku tak ingin pernah.
Semua yang ada padaku haruslah hal-hal terhebat yang pernah didengar orang. Jika ada satu hal saja yang tidak hebat dariku, maka takkan kubiarkan mereka mendengarnya, kalau perlu akan kusumbat kuping mereka, karena aku tak pernah layak untuk disebut tidak hebat.

Jika kau berbicara menggunakan mulut dan lidahmu, aku hanya akan berbicara dengan kesombonganku, jika kau berjalan menapak bumi, aku sudah tidak pernah lagi menginjak tanah kotor bumi ini. jika kau berteman dalam rangka kau peduli, aku hanya butuh teman untuk mengelap bokongku, persetan dengan kepedulian.
Tak pernah ada ikatan emosional dalam diriku, ikatan semacam itu hanya untuk anak ingusan, aku hanya mengenal kata emosional ketika aku harus mendaratkan Iron fist-ku ke wajah-wajah tolol mereka.
Dengan begitu, maka mereka juga akan tahu bahwa aku exist.

*) If you’re free you’ll never see the wall
If your head is clear you’ll never free fall
If you’re right you’ll never fear the wrong
If your head is high you’ll never fear at all

***

Matahari meredup, bulat keemasan di ujung barat.
Senjakala, tawarannya selalu saja begitu dramatis.
Kekosongan ini kembali menyergapku ... Arghh!!

. . . kosong . . . . +#0@3&$)%. . . .kosong . . . . . .
. . . . . . #%?@0?. . . . . . . . . . . kosong . . .
!!!!!!!!!!!!! . . . . . . @#8]$8#?? . . . . . . kosong!!!
. . . . . . . . . . . .What The Fuck !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Sementara kakiku masih terus mengayun.
Tak ada yang baru dalam seharian ini, seperti kemarin, seperti kemarin lusa, seperti seminggu, sebulan ,setahun, atau mungkin seabad yang lalu, sama, labirin yang sama.
Dimulai dengan senyum suram sang fajar, kemudian roti yang sama, senyum-senyum palsu yang sama, sampai di ujung hari sang malam akan menutupnya dengan mimpi-mimpi yang sama, dengan hantu-hantu yang sama pula, semua hanya rutinitas, semua melebur kembali, kekosongan setelah kekosongan.
Sang waktu hanya akan berjalan dengan lambat, Setelah itu tempat ini akan semakin menyempit dan menyempit saja,
yah…, aku tahu, disini sempit, bahkan terlalu sempit,
dunia memang terlalu sempit untukku.

. . . kosong . . . . +#0@3&$)%. . . .kosong . . . . . .
. . . . . . #%?@0?. . . . . . . . . . . kosong . . .
!!!!!!!!!!!!! . . . . . . @#8]$8#?? . . . . . . kosong!!!
.. . . . . . . . . . . .What The Fuck !!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Aku benci berharap, tapi aku ingin tahu apa yang akan dibawa oleh si angin senja kali ini?
Aku berharap ada sesuatu yang baru kali ini, mungkin hanya satu, satu saja, atau mungkin beberapa, karena disini semua telah menjadi begitu usang. Biarlah kali ini aku kembali menaruh harapan, tapi kali ini terakhir, benar-benar untuk yang terakhir kalinya.

Udara mulai terasa dingin di luar sini, masih seperti biasa, orang-orang mulai menyalakan lampu, orang-orang mulai berkumpul mengelilingi perapian di dalam rumah mereka, dengan begitu mereka pikir mereka bisa melawan hawa dingin ini. Entah apa yang sebenarnya ada dalam pikiran mereka, aku tak mengerti, dan tak pernah ingin mengertinya. Sepertinya mereka begitu takut gelap, dasar pengecut, mereka memang pengecut yang takut pada dingin dan kegelapan.

Tapi akulah si kegelapan, aku hanya hidup dalam kegelapan, Sebenarnya disinilah, di kota kegelapan inilah mereka menguburku, hingga takkan ada seorang pun melihat, hingga tak seorang pun datang menghampiri.
Di tempat inilah, tempat dimana sebuah lubang gelap dan besar di sebuah kota, kota yang terlanjur kusebut kota laknat, disinilah aku berkuasa.

***

Langkah kaki terus membawaku semakin jauh, tiba di pinggiran kota aku bertemu seorang Koboi tua, dia telah pulang dari penggembalaannya, kulihat dia sedang mempersiapkan diri untuk peristirahatannya.
tapi kenapa? Apakah sang senja pula alasannya?
Aku menatap jauh ke dalam pandangan matanya, masih bisa kutemukan jejak-jejak mata elang disana, namun waktu telah mengikisnya, yang ada kini hanya pandangan sayu.
Sesuatu mengatakan padaku, dia begitu lelah, dia pernah kesini sebelumnya dan kini dia kembali lagi kesini, hanya berputar-putar, dan aku tahu dengan pasti, sekarang hampir tiba waktu itu untuknya.
Dia menyapaku “anak muda..,” (kata-katanya terhenti sejenak), dari situ aku tahu, walaupun aku belum pernah bertemu dengannya, ternyata dia telah begitu mengenalku.
Dan aku hanya berdiam diri, hanya terus saja menatapnya.
Lalu dia melanjutkan kata-katanya,
“...pengalaman akan membawa kebijaksanaan, Hmmm..!! Apa kau benar-benar menikmati waktumu?!!”.
dengan nada mencemooh, kata-kata itu meluncur dengan mulus di sela-sela nafas tuanya.
Dan tanpa menunggu jawaban dariku, dia masuk, meninggalkanku begitu saja di depan pintu rumahnya.
. . . . . . . . . . . . . . . ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?
. . . . . . . . . ? ? ? ? ? ? ? ? . . . . . . . . . .
...Sejenak aku tersentak oleh kata-kata pria tua itu.
Damn..!! lalu aku menjawab dengan meneriakinya.
“yeah.., old man, say what the hell you say!!”
Kurasa aku telah membuatnya teringat akan masa-masa kejayaannya, sementara hari ini aku dengan tubuhku yang masih tegap, otot-ototku yang masih kekar, kulitku yang masih kencang, mataku yang masih setajam mata burung Condor, dan semua dalam diriku yang masih dalam keadaan prima. Pastilah semua ini membuatnya iri, karena inilah yang kusebut dengan kemilau masa mudaku, masa keemasanku.
Masih dengan belati di pinggang, aku kembali melenggang.

“Kenapa hitam, kenapa putih, bagaimana dengan abu-abu?
Kenapa salah, kenapa benar, kenapa, selalu saja, kenapa??”
Aku mendengar suara-suara itu lagi, pertanyaan-Pertanyaan itu lagi, tapi yang ini begitu jelas.
Terdangar dari balik tembok dingin berjeruji, inilah cerita tentang seorang pria dengan rantai dan bandul besi di tangan dan kakinya.
Untuk kesalahan yang tak pernah dilakukannya, semua pertanyaan itu memang patut diutarakan.
Sekali lagi aku harus menatap wajahnya.
Kulihat setangkai mawar yang masih segar ditangan kanannya, dengan beberapa duri tajam di tangkainya, dia tetap menggenggamnya dengan erat.
Seketika itu pula ia tersenyum kepadaku, tak ada yang ganjil dalam senyumnya, sangat tulus, senyum itu pasti datang dari hatinya yang terdalam, aku bisa merasakannya. sampai pada kesimpulan terjauhku, aku bisa mengerti...
Bahwa tembok ini, jeruji ini, rantai dan bandul besi yang mengikat tangan dan kakinya, bahkan raganya pun tak akan mampu membelenggu jiwanya yang bebas, dia tetap burung yang terbang mengangkasa, dia tetap awan putih di musim semi.

Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, dia akan datang sekali lagi, dia yang selalu menghantuiku dalam mimpi-mimpi kelam. Dia yang meyakinkan aku, bahwa bersamanya aku akan terbebas dari segala kendali, yang belakangan ini telah kusadari, justru dialah yang selama ini mengambil alih atas kendali diriku.
Kurasa sekarang tibalah waktunya, aku harus mengambil keputusan malam ini juga. Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan bertemu dengan pria itu kali ini, aku telah demikian terusik, aku sudah muak dengan ulahnya, bahkan begitu nyata dia kerap kali menampakkan diri dalam cermin.
Malam ini, di jalanan ini, aku menemuinya, segera saja aku mendekatinya, tanpa banyak bicara aku mendaratkan beberapa kali bogem iron fist-ku padanya, tepat di wajah, dan sekali lagi, kali ini di mata kirinya, terus dan bertubi-tubi, tanpa ampun. Dan dia pun lari, tunggang langgang, saat aku memerintahkan dia untuk lari, dia lari sekuat tenaganya.
Dan begitu dia menolehkan wajahnya padaku sekali lagi, kali ini peluruku yang membuat lubang di kepalanya.

***

Fajar menyingsing, sinar Mentari lembut mengusapku, perlahan aku tersadar kembali, kubuka mata dan mentari menyambutku dengan senyuman hangatnya.
Aku sangat bersyukur, setelah untuk waktu yang entah berapa lama, aku kembali bisa merasakan kenikmatan ekstase ini sekali lagi dalam hidupku.

Tentang pria yang telah kubunuh semalam,
inikah keberhasilanku? Tidak, inilah kemenanganku.
Jauh dalam diriku, saat ini aku bisa merasakan arti sebuah kemenangan yang sesungguhnya.
Tanpa penyesalan, hanya rasa lega,
Dan tak ada tangisan, hanya lelehan air mata.
hari baru ini telah benar-benar tiba.
Aku terlahir kembali.

*) If you’re free you’ll never see the wall
If your head is clear you’ll never free fall
If you’re right you’ll never fear the wrong
If your head is high you’ll never fear at all




*) lirik lagu , Exploder by AUDIOSLAVE (:Sumber Inspirasi)

Krian, 070107
Lee Hay



Aku, Kau, dan Kereta


Aku terbangun dengan wajah yang masih memucat. Kutahu hal itu karena aku sempat melihat pantulan wajahku di cermin yang terletak di seberang ranjang. Tubuhku terlonjak begitu kudengar ponselku berbunyi. Ternyata hanya sebuah sms yang masuk, bukan dering telpon dari temen-temen yang biasanya butuh curhat atau mungkin sekedar ngobrol. Sempat kulirik jam digital kesayanganku yang berdiri tenang di atas meja rias. 01.32... ah, hari masih terlalu dini.
Kubiarkan ponselku tergeletak di sisi kiri bantal ularku karena aku masih sibuk menenangkan diri akibat keterkejutan tadi. Itulah kebiasaanku. Susah buatku untuk tidur kembali jika sudah terbangun. Akhirnya setelah kuteguk segelas teh dari kulkas kamar, kuraih ponsel yang tadi sempat kuabaikan.

Pio... saat ini aku berdiri di atas kapal! Dengan orang-orang yang sama... juga pemandangan yang sama. Tapi tak ada yang bisa merasakan sakralnya SELAT BALI, sama seperti saat kurasakan sakralnya STASIUNMU...

Aghhh!!! Aku selalu, selalu, dan selalu tak bisa membendung hujan di mataku saat kutemui sesuatu yang membawa perasaanku terbang ke pulau itu.
Libra, tak seharusnya kau membuatku merintih di pagi buta ini. Kenangan-kenangan itu... dan kerinduanku pada pulau mimpiku telah mengoyak-ngoyak perasaanku dan mencerai-beraikan jiwaku. Masih terkenang semuanya, delapan tahun silam. Begitu utuh dan gamblang. Bagaimana kita berjumpa di sana, di bawah air terjun untuk membuka perasaan kita yang ternyata sama. Tapi itu tidaklah berlangsung lama, setelah dua tahun kemudian kuputuskan untuk menghentikan episode kisah kita karena kuatnya sebuah dogma yang berdiri di antara kita berdua.
Tapi mengapa hingga kini kau tetap tak mau beranjak, untuk pergi dari hati yang kau anggap bagai mataharimu di kala siang, dan menjadi bintang yang paling terang di antara ribuan bintang yang menghantarkanmu pada lelapnya malam.
Pagi ini... kulangkahkan kakiku dengan tergesa memasuki ruang tunggu setelah kubayar karcis peron di stasiun kesayanganku. Yaaah... Seperti mengada-ada bukan jika stasiun inilah yang bisa menenangkanku saat ku rindu akan pulau mimpiku. Akupun maklum kalau kau, bahkan teman-temanku, menganggapku bodoh karena kubuang-buang waktuku hanya untuk duduk berjam-jam demi menunggu datangnya sebuah kereta yang akan pergi ataupun menuju ke arah timur. Padahal, biasanya aku sangat perhitungan sekali dengan tiap menit yang berlalu selain sesuatu yang mengingatkanku akan Bali. Toh akhirnya kalian tahu betapa sakralnya stasiun ini buatku. Betapa hebatnya stasiun ini, seakan-akan di dalamnya terdapat kekuatan magis yang entah mengapa bisa membuatku bersemangat dan kembali tersenyum kala jiwaku rapuh.
Inilah kegemaranku. Duduk di kursi yang terletak di pojok paling kiri dan menghadap ke arah utara. Dan itulah tempat favoritku. Cukup dengan sebuah discman dan sebuah novel atau bahkan terkadang album kenanganku akan pulau itu... aku bisa cukup sabar menanti datangnya kereta. Setelah kereta itu pergi, barulah aku kembali menuju rumah tempatku biasa berteduh dengan tenang.
Beberapa bulan kemudian, kuterima sepucuk surat yang datang menjelang senja. Awalnya, perasaanku biasa-biasa saja. Karena korespondensi adalah salah satu kegemaranku.
Kubaca halaman depan sampul surat itu. Jelas sekali surat itu tertuju untukku. Kubalik sisi halaman yang lain, mencoba mencari tahu siapa pengirimnya. Tapi halaman itu kosong. Tanpa pikir panjang segera kurobek bagian tepi sampulnya dan kubaca isinya yang singkat itu.

Sayang…
16 Juli nanti, kutunggu kau di tempat kesayanganmu!

Oh, mungkin orang iseng, begitu pikirku. Karena kadang ku sering dapat surat asing berisi rayuan-rayuan gombal sepanjang beberapa halaman dari orang-orang yang nggak pernah kukenal. Tapi, entahlah! Kali ini aku sedikit penasaran dengan pengirim surat itu. Apalagi isinya yang singkat menyebut-nyebut tentang tempat favoritku. Siapa yang tahu? Seingatku tidak ada.
Kuambil kembali surat tadi. Kubolak-balik sampai berkali-kali. Meneliti satu per satu tiap sudutnya. Barangkali saja kutemukan petunjuk siapa dan darimana pengirim surat ini berasal. Kucoba melihat bekas stempel di atas perangko surat. Yang tampak adalah seberkas tinta yang telah pudar. Tapi beruntunglah aku karena tekanan pada logam stempel membentuk garis-garis yang terbenam pada kertas, sehingga aku bisa melihat tulisan yang tertera meskipun samar-samar. Ah, tidak seberapa jelas. Aku berusaha keras menyusun huruf demi huruf dalam otakku. S-I-N-G. Sayang, ada tiga huruf yang hilang. Tapi dua huruf terakhirnya tampak tebal, sehingga mudah kutebak apa tulisan yang tertera. SINGARAJA. Dan aku yakin Libra-lah yang mengirimnya.
Ah, lagi-lagi aku dibuat terkejut olehnya. Apa yang diinginkannya pada 16 Juli nanti? 16 Juli... 16 Juli... berarti dua hari lagi. Di tempat favoritku. Ehm, sebentar! Di tempat favoritku? Berarti... dia bakal ke sini? Ke kota ini untuk menemuiku, setelah delapan tahun berlalu...
Kegalauanku petang ini akhirnya disadarkan oleh setumpuk pekerjaan yang membentang di depan mata. Setumpuk puisi Jaroslav Seivert yang harus kudokumentasikan dalam komputerku, selembar lukisan Monalisa yang harus segera kubingkai, dan setumpuk fax yang menunggu untuk kukirimkan malam ini juga.
Kukira, setelah kuselesaikan semua pekerjaan itu, malam ini aku bisa mendaratkan tubuhku dengan mulus di atas ranjang lalu menikmati kelelahan hari ini sebagai suatu kenikmatan. Tapi mataku tetap terbuka nyalang karena kehilangan selera tidur. Insomniaku kambuh lagi. Kambuh di saat yang tidak tepat. Saat kenangan-kenangan masa lalu membuat rongga dada menjadi sesak. Tersesat ke bilik jantung. Dan terbang liar dengan bebas memenuhi pikiranku.

16 Juli...
Suara halus di seberang memasuki gendang telingaku setelah kuputuskan menerima panggilan Libra yang berkali-kali melalui ponselku.
“Aku sudah menantimu sejak jam empat pagi. Apa kau punya waktu untuk menemuiku hari ini?” tanyamu tanpa ada unsur untuk memaksaku datang meski ku tahu betapa besar harapanmu agar aku mau menemuimu.
“Sekarang masih gerimis. Siapa tau nanti malah tambah deras.” Elakku tanpa basa-basi.
“Oh, jadi kamu nanti nggak bisa datang...” sahutmu lirih yang lebih pantas disebut sebagai keluhan.
Keraguan merayap perlahan dalam otakku. “Jarak rumahku dan stasiun tidak terlalu jauh. Sekitar 15 menit ditempuh dengan kendaraan. Aku pasti datang.” Jawabku mantap tanpa pikir panjang. Entah bagaimana kata-kata itu meluncur begitu saja setelah beberapa detik sebelumnya kuputuskan untuk tidak usah menemuimu.
Keteduhan langit dan udara yang sejuk oleh sisa-sisa hujan, t’lah mengusir titik-titik peluh di leher dan hampir seluruh tubuhku. Aku merasa tertolong oleh redup awan mendung, tapi di sisi lain tubuhku semakin gemetaran saat langkah kakiku semakin mendekati tempatmu menungguku. Terlintas di pikiranku untuk segera angkat kaki berbalik arah dan meninggalkan stasiun yang biasanya selalu membuatku nyaman. Tapi terlambat! Senyummu telah mengisi lensa mataku dan membuat langkah kakiku tetap bergerak ke arahmu. Akupun melihatmu terbebas dari deretan kursi untuk menyambutku.
Aku benar-benar terharu menyaksikan tatapan matamu yang letih karena kerinduan. Tanpa banyak kata terucap, kau selalu menyampaikan perasaan-perasaanmu tanpa pernah bisa menyembunyikannya dengan sempurna.
Hari sudah hampir larut setelah kita habiskan waktu tanpa kita sadari. Kau putuskan untuk pergi dari kota ini, malam ini juga. Tidak ingin membuang waktuku lebih banyak lagi, itu alasanmu.
Kutemani kau mencari tempatmu bersandar di kereta yang akan membawamu pergi. Entah kenapa, kau tersenyum kecut padaku saat kau tahu bahwa jendela kereta yang kau tumpangi itu retak tepat di sisi kirimu.
“Sudah kutemukan tempatku. Kau bisa pulang sekarang. Aku takut kamu kemaleman,” tegurmu halus tanpa ada maksud mengusirku.
“Aku akan pulang, setelah kudengar peringatan kalau kereta akan berangkat,” jawabku singkat.
Untuk beberapa lama, kita berdua terdiam.
“Apakah benar kisah ini t’lah kau jadikan sebuah kenangan?” tanyamu memecah keheningan.
“Apakah pantas kisah kita dikenang, jika kisah itu t’lah memberimu rasa kehilangan?” tanyaku balik.
“Kenangan itu takkan pernah bisa terhapus, Scorpio. Dia akan tetap hidup dalam ingatan kita! Ingatanku, maupun ingatanmu! Aku tak percaya kau t’lah melupakannya!” kali ini kau berbicara dengan nada sedikit meninggi. Aku tahu kau tidak akan memanggil nama panjang seseorang, kecuali kau sudah terlalu payah mengatur emosimu.
“Aku tidak melupakan kenangan itu, Libra! Aku juga tidak berusaha menghapusnya. Jika aku memang menghapus kenangan-kenangan itu, tak mungkin kupendam rinduku akan pulau itu! Elakku.
“Jika bukan menghapus kenangan, lalu kenapa kau tak pernah lagi singgah dan memijakkan kaki disana?”
”Aku menghapus perasaanku, Libra. Perasaanku yang dulu!” ujarku perlahan tapi bagai pisau yang menyayat hatinya.
Andai kau tahu, bukannya aku tak mau memijakkan kakiku lagi dipulau itu, tapi aku takut... Perasaanku di masa lalu muncul kembali,” ujarku lirih.
Di tengah pertengkaran berbisik yang terjadi, suara petugas melalui pengeras suara menyadarkan aku dan Libra bahwa kereta akan segera berangkat.
“Pio...”
“Ya...?” sahutku singkat.
“Tahukah kau? Tak pernah kupedulikan langkahku menempuh jarak sekitar 400 kilometer untuk mengunjungimu tiap akhir minggu. Semua kulakukan demi kerinduanku padamu. Tapi selalu dan selalu saja aku mematung di stasiun ini, tanpa berani memijakkan kaki di depan pintu rumahmu. Dan aku... masih tak percaya akan keputusanmu sore tadi.”
“Libra! Pintu rumahku terbuka untuk siapa saja, termasuk kau!” kataku gamblang.
“Tapi pintu hatimu tak pernah terbuka lagi untukku.”
“Libra, sudahlah! Jangan kau teruskan!” bentakku.
Samar-samar kuamati matamu yang sayu. Entah karena kelelahan atau karena sebab yang lain, dia sandarkan kepalanya pada jendela kereta yang t’lah retak itu. Seperti prajurit kelelahan yang baru pulang dari medan perang raut wajahnya di malam ini.
“Ini... dengarlah saat kereta mulai melaju,” kataku sambil menyodorkan sekeping CD yang kukeluarkan dari discmanku.
Dia mengambil discman itu dari tanganku dan memindahkannya pada discmannya.
“Sengaja kurekam semua isinya dengan lagu yang sama. Kuharap kau mengerti perasaanku. Selamat tinggal, Libra! Kereta sudah mulai bergerak, aku harus pulang.”
“Jangan kau ucapkan selamat tinggal, Pio... aku masih ingin bertemu denganmu lagi suatu saat nanti,” mohon Libra sambil meraih tanganku.
“Hati-hati ya Libra!” ujarku sambil berbalik arah meninggalkannya.
Kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Tak kupedulikan gerimis malam yang lama-lama berubah menjadi deras hujan. Kuputar lagu yang sempat kuberikan pada Libra. Syukurlah kumasih punya dua CD yang sama.
Aku tak tahu kemana lagi harus mencari ketenangan. Tak mungkin aku pulang menyetor wajah kepada Mama Papa dengan mata yang masih sembab. Tanpa sadar kutepikan mobil di bibir pantai yang t’lah kulewati. Jarum-jarum air menempa tubuhku setelah aku keluar dari mobil. Hujan di mataku bersatu bersama hujan yang turun dari langit. Masih terngiang-ngiang lirik lagu milik Jikustik di kepalaku, meski aku yakin kalau suara tape mobil t’lah dikalahkan oleh deras hujan.

Maafkan aku untuk kesekian kali
Kuraih hatimu, dan kupatahkan lagi…
Kuharap kau bisa pahami
Waktu aku… berucap ini…
Jalan hidupmu akan berubah nanti
Dan kita simpan semua kenangan ini…
Kuminta kau jangan menangis
Tegarlah sekuat karang

Dan aku tahu, aku pasti merindukan
Semua hal bodoh yang pernah kita lakukan
Tersenyumlah… redakan aku
Yang merasa bersalah padamu

Ini saatnya, kita harus mengerti
Kereta ini ‘kan membawamu pergi
Dan bila kau sampai di sana
Tak pernah ada lagi… kita…

Kebisuanku di antara hujan, akhirnya berakhir setelah aku dikagetkan oleh getar ponselku. Aku tahu Mama pasti menyuruhku segera pulang. Buru-buru aku masuk mobil untuk mengecek ponselku.

Saat ini... hatiku seperti jendela kereta yang retak saat pertemuan tadi. Tak bisa pecah dengan tuntas. Tetap terperangkap diantara bingkai yang nyaris pecah tapi tak bisa terlepas. Seperti itulah perasaanku padamu. Hatiku terluka tanpa kutemukan obat penawarnya. Ingin menghapus perasaan yang ada, tapi kutahu itu tak semudah yang kukira. Aku akan tetap mencintaimu Pio... meski hatimu tak lagi kau buka untukku, aku akan setia mencintaimu...

Libra... kau membuatku menangis lagi malam ini...

Surabaya, 22092005
Di Terik Siang
Imey



“Jangan tanyakan apa yang telah (kampus) Negeri ini berikan padamu, tapi apa yang telah kamu berikan pada (kampus) Negerimu”.

Kutipan tersebut setidaknya sangat mewakili keadaan kita sebagai warga kampus yang pada pertengahan Januari lalu diwajibkan membayar SPP dan uang SOM (bagi kawan-kawan MABA) sebagai bentuk pemberian kita yang tak bisa di tunda lebih lama lagi untuk kampus tercinta kita.
Tapi, disini mari kita berpikir positif.
Yaah.., sejumlah uang itu mungkin belum seberapa dibanding biaya yang dibutuhkan kampus untuk keparluan kita agar bisa berkuliah layaknya sebuah proses perkuliahan ideal.

Buktinya, yang kita dapatkan disini masih jauh dari apa yang kita harapkan dari sebuah kampus ideal.
Mungkin ada banyak alasan di atas sana, misalnya : biaya administrasi, perawatan dan perbaikan fasilitas, gaji karyawan, dan lain-lainnya yang masih banyak dan tak boleh disebutkan secara transparan di depan kita.

Bukan tak beralasan kalau kita berniat menuntut lebih atas banyaknya masalah yang kita hadapi setiap harinya di lingkungan kampus. Bayangkan saja.., Kita mulai dari masalah fasilitas. Baca buku seadanya di perpustakaan, padahal perpustakaan adalah jujugan pertama saat kita butuh banyak referensi untuk pengayaan materi kuliah. Ruang kelas yang panas, bukan karena tiap kali ada debat atau diskusi tapi karena AC (air conditioner) hanya berfungsi sebagai hiasan dinding, kesulitan cari tempat untuk diskusi masalah kuliah di kampus. Mau buang air di toilet malah air toiletnya yang sering mampet, mungkin karena takut kekeringan di musim kemarau, kita harus membantu menyiram tanaman agar tetap subur. Mau makan di kantin, eh.., malah dapat fasilitas gratis mandi sauna. Belum masalah lainnya, Dosen yang sering datang terlambat setengah jam atau lebih dari jadwal perkuliahan, pada kesempatan lain dosen juga ikut-ikutan mahasiswa bolos. Transkrip nilai bermasalah, bukan dalam kategori alphabet A-E tapi malah T, belum lagi harus mengurus tetek bengek administrasi / birokrasi di BAAKPSI kampus ketintang.

Memang beginilah realita yang kita temukan di kampus lidah wetan, namun pada akhirnya, kita cuma bisa berharap semoga mereka tidak benar-benar tuli, kita kembali mengingat ada pepatah yang mengatakan;
“Jangan tanyakan apa yang telah (kampus) Negeri ini berikan padamu, tapi apa yang telah kamu berikan pada (kampus) Negerimu”.

Jadi konco-koncoku, ..pada intinya,
Belum ada kepastian dari tulisan diatas, tanpa adanya pembenaran sanggahan dan sangkalan dari teman-teman yang membaca, apakah kesimpulan dari tulisan di atas cukup mewakili atau malah tidak sama sekali.
Untuk itu GERILYA mengundang teman-teman untuk membuat opini atas fenomena “ketidakberesan” yang kalian tangkap di kampus kita ini dalam kontes “GERILYA Free Style Writing”. Kirim dalam bentuk tulisan maksimal 1 lembar folio, spasi 1,5, font Courier New ukuran 11. Kumpulkan ke Tim ROCKET, Sastra Indonesia ’04 dan ditunggu sampai edisi GERILYA berikutnya!
Karena ini SERIUS!!! jangan lupa menuliskan nama dan nomor registrasi kalian, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tulisan yang kamu buat, kita mendukungmu kawan.
INGAT!!! 3 Tulisan terbaik akan mendapat imbalan yang pantas.

0 komentar: