BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Rabu, 10 September 2008

Penanggungjawab
GERILYA

Editor
GERILYA

Kontributor
Suluh DP.

Distributor
Isnan A.

Workbase
Konter a’an
Jl. Babatan I no 28

Website
www.gerilya8.blogspot.
com

Email
gerilya_8@yahoo.com

Tim Boyok Sempal
Tim Ajez PA/GU














INTERMESO

Siap!!! Yakin ta?

Sugeng rawuh teman-temen mahasiswa dan terutama mahasiswi angkatan 2008 di belantara Unesa. Siaap!! Yakin tha??
Yaopo anune rek? Wis ga anu tha? Sing ngunu tambah ngono ta anu? Sakjane kepingin anu tapi anune wis ngunue!! Enake anune digawe ngono-ngonoan ae!! Setuju ga setuju buyar.
Sekadar combe-combe lagi sekaligus per-kenalan untuk teman-temen yang baru kali ini memegang GERILYA, berikut adalah maksud keberadaan kami (sejak awal terbit), yaitu: 1)Turut serta mencerdaskan kehidupan Bangsa, 2)Turut serta menjaga perdamaian dunia, 3)Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Fakultas Bahasa dan Seni, serta 4)Menjaga stabilitas kenyamanan berkuliah.
Sebagai sebuah media (lha koen sopo?), tentu kita mempunyai fungsi dan tujuan. Pada prinsipnya GERILYA datang di saat yang tidak penting tapi penting dan ada demi kepentingan bersama, kalo reaksi pembaca puas dengan GERILYA, kami seneng. Tapi kalo ada semacam manusia yang tersinggung, kami lebih seneng. Berarti yaa tujuan kami tercapai.
Inilah kami, dan beginilah rubrik kami, yang berada di jalur lain, yang mencoba menawarkan perbedaan dari rubrik yang lain-lain. Semoga karya sastra tetap dipandang dan dihargai sebagai karya sastra.
Hidup kebebasan berekspresi!!
Daripada mbatin thok rek...
Lebih baik tak tulise...
Sing bener/ga bener, iki yo dalam rangka mencintai FBS, kritik ga berarti etrek-etrek.
Yo sopo eroh... akhire gak diperhatikan, tapi lak wes dibaca...

****YO WIS SELAMAT AE****





Ospek: Don’t Worry Uuu...yeah...

Hallo... Hallo... Mahasiswa baru (maba), yaopo rek ospek e? enak ya dibentak-bentak mahasiswa lawas (senior)? dikongkon ngono-ngene, nggawe ngono-ngene, trus nggowo ngono karo ngene. Yo wis sing penting isok kuliahlah...
Sakjane lho sekelumit hal di atas bukan kalian saja yang pernah ngalami, awak-awak iki lho wis mblenger aliase bosen (bored) malahan, mosok sejak SMP sampek SMA...(dengan terminologi beda tapi realitasnya tetep) embohlah rek, yaopo ngunu iku??
Lhaa... seperti ospek yang pernah kita alami bersama, aksi-aksi senior telah menjadi lingkaran setan yang menyelimuti dunia pendidikan. Lebih parahnya lagi semua itu diterima sebagai hal yang wajar oleh para “korban” maupun sebagian penghuni kampus. Sebagai contoh kecil saja, mungkin sebagian dari kita pernah dibentak ataupun diejek oleh para “oknum” panitia ospek sehingga dalam diri “korban” menimbulkan ketakutan psikis. Naah...ketakutan psikis ini tanpa disadari kemudian mengalir menjadi ketakutan fisik, dimana reaksi para Maba kalau cuma diam selama ospek yo agak memudahkan para senior mem-plokotho kita alias banyak godaan dan gangguan.
Saiki lho rek tahun 2008, koq... mbohlah sakkarepmu?? Masih perlu tha dengan pola menakut-nakuti dan di takut-takuti?? Boleh mikir asal jangan parkir!!
Yo wis diakhiri ae timbang mbulet. Sing penting harapan kami dari kegiatan ospek yang diadakan pihak kampus beberapa minggu lalu tidak mubazir atau percuma, dengan memunculkan mahasiswa/mahasiswi yang mampu berpikir kritis serta di tunggu ide-ide segarnya (semoga), walaupun tidak banyak yo ga po2 sing penting maneh yakin ae rek sama ide perubahan dari kalian biar suatu sistem berjalan dengan semestinya demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat FBS dan menjaga stabilitas kenyamanan berkuliah. Anggap tidak ada lagi senior dan junior, yang ada hanyalah penciptaan mahasiswa/mahasiswi yang egaliter karena kita di sini sama-sama belajar demi menatap masa depan cerah biar ajiip...
Akhirnya semboyan yang mendengungkan “senior pasti benar” perlu didekontruksi oleh mereka-mereka yang sadar akan kebenaran sejati dan bukan kebenaran semu. Bravo FBS...

FBS bersatu tak bisa dikalahkan!!
Yakin tha??
Hidup mahasiswi!!
(mahasiswa ga usah)
Jayalah Unesa (aaamiiiiinnn)
We’ll be right back ... hehehe...

*)GERILYA




Karya Sastra Tanpa Intervensi (?)

Dalam kehidupan yang sudah terlalu banyak cincong ini, sebuah karya sastra seharusnya hadir sebagai sebentuk subversi —dalam arti dinamis-. Karya sastra sudah sepantasnya datang sebagai semacam alternatif untuk membuat “yang berbeda” dalam hidup kita yang sudah dimakan iklan dan dibuat bosan oleh politik.
Sepaham dengan Sapardi Djoko Damono, “tugas” fiksi adalah membuat jeda sejenak dari rutinitas yang mengelilingi kita. Kehadirannya membuat kita bisa melakukan perjalanan “ulang-alik” antara yang nyata dengan yang imajiner. Perjalanan itu, hampir terus-menerus menjadi sesuatu yang selalu kita butuhkan selama kita masih ingin bertahan jadi “orang waras”: ia menjadi semacam ritual yang menjaga kita tetap ada dalam sejenis “keseimbangan”.
Mungkin itulah sebabnya Om Sapardi mewanti-wanti mereka yang menulis sastra di koran untuk tak mau kalah dengan berita. Ya, hari ini, kita adalah manusia-manusia yang tak lagi mudah terkejut atau gampang menyebut sesuatu sebagai sensasional. Teknologi yang terus dipercepat itu telah memungkinkan kita melihat banyak hal ganjil, langka, sekaligus menggetarkan, dalam frekuensi yang amat sering.
Tanpa adanya sorotan yang kadang harus “melibatkan” banyak media massa misalnya, sebuah kejadian akan mudah kita lupakan dan membuat bosan. Tapi yo..., perlu diingat rek bahwa kodrat media massa memang hanya bisa memberi sesuatu yang mungkin saja secara kuantitatif amat banyak tapi secara kualitatif menjadi amat jauh dari “kebutuhan” pribadi kita. Oleh karenanya, ia bisa sangat membosankan, bahkan sebelum ia benar-benar sampai di depan mata kita.
Pada titik itulah karya sastra seharusnya hadir. Ibarat satriya piningit yang ditunggu-tunggu dengan tubuh tergopoh yang kokoh atau malah sudah siap roboh, ia mungkin akan datang pada kita secara kebetulan. Awalnya mungkin kita merasa sama sekali tak terkesan pada karya sastra dan telah siap mengusirnya pergi dari hadapan kita. Tapi percakapan sebentar dengannya bisa jadi akan membuat kita terpesona, lalu kita akan menyilakannya tinggal lebih lama dan kita akan mendengarkannya banyak bicara dalam waktu yang jauh lebih lama.
Setelah semua itu, mungkin saja mendapati diri sebagai seorang yang telah kuyup metafora atau telah menjelma menjadi manusia yang teliti pada diksi atau rima. Tiba-tiba, ia telah ada di hati dan kita membawanya ke mana saja kita pergi. Kita boleh saja berpisah dengannya —lama atau sebentar— tapi suatu saat kita yakin akan menemuinya kembali: mungkin saja ia yang kembali datang pada kita atau justru kita yang mendatanginya sambil tergopoh-gopoh. Di situlah, sebuah karya sastra akan jadi subversi.
Masalahe rek, tak semua puisi atau fiksi selamanya menjadi subversi. Kadangkala, karya sastra justru menjadi sekadar “repetisi” dari dunia yang kita diami sehari-hari. Ya, tidak semua karya sastra yang kita jumpai akan memberi kita subversi: sebagian hanya menyuguhkan kata-kata yang “belum jadi”, sebagian lainnya sibuk memberitahu sesuatu yang sudah kita dengar ribuan kali melalui berita, sinetron, kitab suci, kuis, atau iklan. Karya sastra dalam dua jenis itu sudah tentu akan jadi sesuatu yang justru menambah kebosanan kita.
Ketika sebuah zaman di mana seseorang bisa memaki presiden tanpa harus takut masuk bui, masihkah kita membutuhkan puisi-puisi bernada protes? Tapi rek, di jalanan atau di coretan dinding, di kantor atau kamar mandi, kita masih terus-terusan disuguhi protes? Bukankah Indonesia hari ini adalah sebuah negara yang hidup dari protes ke protes?? Yo weslah !!
Sejumlah penyair memang melahirkan sejumlah puisi yang disebut-sebut sebagai “roh gerakan” (kebangsaan?) dengan bernada protes, ternyata hal tersebut bisa sangat berarti bagi kita, bukan hanya sebagai pribadi tapi juga sebagai sebuah bangsa. Sebutlah nama penyair seperti ; Taufiq, Rendra, dan Wiji Thukul. Mereka hidup dalam suasana yang berbeda amat jauh dengan kita. Taufiq ada dalam pusaran perlawanan terhadap orde lama: puisi-puisinya dalam “Tirani dan Benteng” adalah manifestasi dari “janji untuk bertindak” yang didorong oleh sejumlah demonstrasi. Rendra dan Thukul ada dalam era orde baru yang amat anti terhadap segala hal yang subversif. Maka, sajak-sajak pamflet Rendra dan kata-kata Thukul —“Hanya ada satu kata: lawan!”— menjadi sesuatu yang amat berarti kala itu karena tak banyak yang berani memproduksinya.
Sebuah sajak protes, bagi sebuah pemerintahan yang tak membolehkan kritik, bisa menjadi sesuatu yang amat “menakutkan” karena ia bisa membuat orang ramai tahu ada suara berbeda yang masih hidup. Sajak protes, sama seperti ketelanjangan, bisa menjadi sesuatu yang subversif ketika ia ditempatkan dalam konteks yang tepat. Tapi keduanya hanya akan menjadi lucu ketika hidup dalam suasana yang tak mendukung.
Membaca sajak-sajak yang demikian, mungkin kita justru akan diam di tempat atau segera merasa bosan dan kemudian cepat lupa bahwa kita pernah membacanya (?!?) Sekirane awak dhewe wes ngertilah, sekarang tinggal bagaimana kita sebagai generasi muda harapan bangsa (...wuuuih) melanjutkan arahnya ????!!!!!!

Wassalam. ;-)

S03L03H
*)Diunduh dari berbagai sumber




Apa Kata Dia Orang???

Oleh
Cintcha Lauworeq*)

Awalnya kitcha ouwrang sempat ragu untuk menurunkan tulisan ini dalam GERILYA, karena bukanlah suatu kebiasaan membuat semacam reportase atas suatu peristiwa dalam rubrik ini. Tetapi kenapa tidak, toh semangat GERILYA tetap ada dalam bentuk tulisan berikut, dan yang terpenting berfungsi. Fungsinya apa? Yo, seperti biasanya lo, gak lupa kan?? Demi FBS yang kitcha ouwrang cintai bersama.
Kichta ouwrang gak bisa... -alah pegel rek! Biasa ae yo?!!- (...Lagi) Kita gak bisa tinggal diam mengetahui sesuatu yang bisa sangat berguna terlewatkan begitu saja, apa lagi untuk kebaikan. Hhh... Yo weslah!! Sudah saatnya disebarluaskan, hal penting itu adalah:

Pidato Sambutan Bapak Dekan FBS dalam Yudisium Mahasiswa S1 dan D3 Semester Genap 2008, ini penting rek!
Yakin ta?? Yo wes, yakin.
Tapi sepenting apa pun tetap kita bawa nyantai aja, OK?

Saudara-saudara, kenapa kita anggap penting karena Bapak Dekan menyoroti FBS, artinya kita dapat melihat FBS dari sudut pandang pemimpinnya langsung, mantab kan? Patut kita hargai kedatangan Bapak Dekan waktu itu, dalam keadaaan tidak begitu sehat beliau memaksakan diri untuk hadir dalam upacara tersebut.
123! Satu per satu ritual acara dilaksanakan. Bukan itu, yang kita ulas di sini adalah pidato sambutan beliau, berikut adalah beberapa ungkapan yang kami kutip:

“ITU NAMANYA KURANG AJAR”
Seperti disiram air es di tengah hari yang gerah, segerrr! Ya, ungkapan bercetak tebal di atas ditujukan kepada dosen-dosen yang molor memberi nilai pada mahasiswanya, bahkan sampai beberapa semester setelah kuliah berakhir. Beliau juga tahu kalau sering terjadi, bahwa ada mahasiswa yang disuruh mengambil nilai ke rumah si dosen, padahal rumah si dosen jauh dari kampus, bahkan di luar kota. Terutama dosen-dosen dari jurusan ‘ini’.
Ah, jerit hati kita terdengar juga, benar kan saudara?? Atau paling tidak mereka sudah dicap kurang ajar. Semoga bisa menjadi pelajaran dan tidak meruncingkan hubungan antara mahasiswa dengan dosen.

“SAYA JADI NELONGSO”
Demikianlah ungkapan Bapak Dekan ketika mengetahui salah seorang ketua jurusan tidak hadir dalam upacara yang cukup penting tersebut. Terlepas dari penting atau tidaknya, wajib datang dan tidaknya menurut beliau yudisium tetap perlu, dan beliau mengaku memaksakan diri untuk hadir meskipun dalam keadaan sakit rematik, dan memang benar sepanjang acara beliau hanya bisa sambil duduk. Maka, kembali jurusan ‘ini’ jadi sorotan, padahal lo... !!
Ah, gak taulah, yang jelas banyak dari mahasiswa jurusan ‘ini’ juga mengaku kecewa. “Sepertinya kita dilepas tidak sehangat kita diterima dulu, apa kurang bayarnya ya?” demikian tutur ED, mahasiswa jurusan ‘ini’. Suatu ungkapan sederhana yang bisa jadi memang demikian(?).

“KITA SELESAIKAN DENGAN DAMAI SAJALAH”
FBS masuk metropolis watch, Jawa Pos edisi 26 Agustus 2008. Sungguh disayangkan, apalagi penulisnya adalah pacar seorang cewek dari jurusan ‘itu’ di FBS Unesa yang mengaku kecewa terhadap kinerja birokrasi Unesa.
Kemudian Bapak Dekan menyatakan kekecewaannya jika sampai benar-benar terjadi hal demikian, maka beliau tidak membenarkan apa yang telah dituliskan di rubrik “wadulan” dalam koran nasional tersebut.
Di antara teman-teman mahasiswa yudisium juga setuju, bahwa serumit apapun urusan administrasi dan masalah yang kadang terjadi dengan petugas yang berwenang, semua masih dalam taraf wajar, dan dapat dimaklumi, kita akan tetap menjunjung tinggi nama kampus ini. Unesa!!!
...Oh, Almamaterku tercinta aku akan selalu... OK, cukup!
Akhirnya acara selesai dengan dipapahnya Bapak Dekan oleh dua orang pegawai TU untuk meninggalkan ruangan.
Tentu saja, tidak semua kutipan dapat dimuat di sini. Kita tidak memilih yang manis-manis, karena terlalu biasa. kita hanya mengambil beberapa bagian yang dapat dijadikan kritik sebagai upaya untuk kemajuan FBS, dan ternyata bagaimana hasilnya saudara-saudara? Ah, semoga kesimpulan kita tidak jauh berbeda.
Sekali lagi, semua bahan di atas diolah langsung dan asli dari pemimpin FBS. UASLI!!
HIDUP FBS!!!


*)Penulis tidak lain dan tidak bukan adalah mahasiswa yang pengen diakui sebagai pengguna Bahasa Indonesia yang baik dan benar, saat ini menunggu hari eksekusi.





Cerpen:
Lelaki yang Kehilangan Senja

Oleh
Dody Kristianto*)

Denyut kota tiba-tiba mendadak hitam. Kota berubah dengan alir mati mengikut alur dari cerita seorang pengarang yang memotong senja. Ya, semenjak senja dipotongnya, tanganku tak lagi mampu membedakan mana kanan dan kiri. Mataku sering kali ketakutan, mengintip mataku sendiri. Serta bayanganku, yang acapkali terlepas kabur diburu oleh jejak kegelapan. Aneh, bukankah bayang-bayangku sendiri adalah representasi dari kegelapan?
Tapi tidak demikian dengan sebuah keluarga. Atau lebih tepat tetangga berselisih dua rumah dari rumahku. Mereka begitu hidup. Kehidupan mereka begitu malam. Pernah suatu ketika aku melihat mereka sekeluarga beramai-ramai mencopot otak mereka. Hii... Tapi itu dua bulan lalu ketika aku kali pertama tiba di kota ini, untuk mengikuti hilangnya senja yang dipotong oleh seorang pengarang. Ah, pengarang yang iseng, apa yang ada dalam pikirannya? Aku tak tahu. Mungkin juga sama dengan pikiranku yang anehnya juga ingin memotong senja.
Pun aku juga kerap berkirim surat elektronik untuk si pengarang.
”Pengarang yang terhormat, kiranya aku pun juga hendak memotong senja, sama dengan alur cerita yang kau bangun. Hai, mengapa engkau selalu mendahuluiku? Tidak hanya itu, kau bahkan menyalipku dengan sedan silver-mu yang kutahu terdapat bekas goresan pada pintu sebelah kanan. Dan kalau kuingat, itu terjadi ketika aku ingin menangkap dan membingkai senja. Kau terlalu egois. Betapa senja itu telah engkau kantongi. Aku cuma bisa menengok, melongok ke dalam jantungku. Tidak, tak cuma jantungku. Bahkan juga mataku, telingaku, lidahku. Juga kutengok jauh ke dalam otakku, kubongkar. Tanpa senja tentunya”.
Sejak itu, senja jadi semacam obrolan di kota ini. Bagiku senja sudah menjelma hantu dan si pengarang asyik masyuk memainkan senja di kantongnya. Setiap sore, kujumpai orang-orang mengais bintang. Bintang? Lalu apa hubungannya dengan senja. Sepertinya tidak ada dan lucu sekali. Sebuah rumah persewaan kunang-kunang di buka sebagai pengganti rasa penasaran terhadap senja. Tapi aneh sekali, kota yang tadinya metropolitan ini jadi kota yang kehilangan senja. Senja yang aneh, sudah jadi tren di kota kasihan ini.
Sementara aku sendiri tak begitu percaya kau semudah itu memunculkan senja sebagai cerita berbingkai dalam kumpulan ceritamu. Mungkin juga cerita-ceritamu sudah menjelma novel kecil. Novel yang menculik senja. Kau masih saja asyik memainkan senja di kantongmu. Tak peduli betapa kau dikejar oleh polisi, tentara, helikopter yang siap memburumu di mana pun kau berada, sampai di got gelap sekalipun. Dengan segala hormat, aku pun mulai putus asa. Betapa rumahku kini panas, menara-menara patai, tempat persinggahanku ketika hari sore tak lagi ceria. Semua karena keegoisanmu yang memotong senja dalam ceritamu. Untuk pacarmukah? Egois sekali.
Untuk sekali ini, aku pasrah, takkan kukejar senja yang sudah kau kantongi. Biar kau peluk senja sebagai bantal, gulingmu atau juga boneka yang menemani perjalananmu. Biar aku lupakan senja. Atau juga menemukan senja baru. Senja yang tentunya belum sempat kau potong dan tersimpan dalam kantongmu. Aku tak mau untuk kali kedua kau dahului. Tentu aku akan mencari senjaku sendiri. Dan aku ingin sekali
***
Lalu mulailah kucari senja. Kujejaki dalam mimpiku. Pertama, aku penasaran pada keluarga yang begitu hidup, begitu malam. Aku curiga barangkali mereka menyimpan senja. Barangkali juga mereka percik senja. Tapi entah, otakku juga turut berseri saat memandang mereka. Rambut-rambut dari kepalaku mulai rontok, sampai kepalaku berkilat seperti halnya senja. Tidak. Ini bukan senja yang kucari. Ini bukan senja. Ini aneh.
Sekejap kemudian mereka kuhindari. Mereka aneh, bahkan sangat aneh. Dan tidak mungkin senja yang damai kutemukan pada keluarga seaneh itu. Ke mana lagi harus kutemukan senja? Semoga aku beruntung saat terlempar dalam mimpiku. Bukankah mimpiku ini masih belum terjamah? Belum tersentuh, sekalipun oleh diriku. Aku mulai bergerak menyusuri tepian pantai. Waktu masih menunjukkan pukul 15.00, masih ada harapan. Dan harapan itu memang ada dalam pikiranku. Seperti juga senja yang ada di depanku, yang selama ini kucari dan kuburu.
Memang indah, memang anggun senja sore ini. Sekian bulan sudah aku tidak menikmati senja. Akhirnya tiba juga senja yang pulas. Tapi tiba-tiba sekejap saja pantai ini didatangi satu per satu penduduk kota. “Hei, ini senjaku. Ini mimpiku!” teriakku pada mereka. Mereka tak peduli. Mereka tak mendengarku. Mereka makin asyik saja menikmati senja yang sekian lama hilang dalam hidup mereka. Mereka mengabaikanku. Tapi ini mimpiku, tentu hanya aku yang berhak atas senja yang selama ini kucari.
Namun kami semua terkejut. Senja tiba-tiba merayap hilang dan seperti terpotong. Kami semua gugup, berteriak resah. Tak terkecuali aku sang pemilik senja. “Hei, ke mana senjaku? Apa yang kalian lakukan pada senjaku?” tanyaku. Mereka semua panik. Mereka berhamburan semburat. “Senja hilang, senja hilang lagi!” teriak mereka. Mereka tak perduli pada pertanyaanku.
Dan aku melihat sesosok yang kukenal. Dengan sedan silver, dengan bekas goresan pada pintu sebelah kanan. Ah, dia si pencuri senja, dia si pengarang. “Oi, tangkap dia!” orang-orang berteriak marah. Si pengarang tancap gas bersama senja yang sudah dikantonginya. Para penduduk kota tak ketinggalan mengejarnya. Aku langsung menaiki motorku. Kukebut dengan harapan aku bisa mengejar si pengarang. Semua yang ada di kota ini dikerahkan. Anjing-anjing pelacak, polisi, tentara, helikopter, pesawat pembom. Seluruhnya beramai-ramai mengejar si pencuri senja. Malam ini headline pada acara televisi, radio, koran, majalah, serta jurnal-jurnal adalah “SI PENCURI SENJA BERAKSI LAGI”. Kota kembali murung.
Si pengarang terus tancap gas dengan senja di kantongnya. Tak peduli bahwa seluruh kota mengejarnya. Aku pun tak kalah giat memburunya. Motorku terus kupacu, melewati jalan-jalan, gang-gang demi kudapatkan senjaku yang hilang. Tapi pengarang itu begitu lihai. Sorotan pesawat dan helikopter berhasil dilewatinya. Begitu juga dengan endusan anjing pelacak yang bisa dikelabui. Ia bisa tenggelam. Ia ditelan waktu. Aku kehilangan jejaknya. Ia hilang. Ia seperti pesulap yang dengan luar biasa menghilangkan menara tertinggi di dunia. Bahakan lebih dari itu. Ia adalah pencuri yang licik. Ia adalah pengarang yang luar biasa.
***
Malam ini kota kembali ramai. Senja yang hilang. Kota yang senyap. Penduduk yang histeris kehilangan senja. Mereka masih mencari di setiap sudut kota di bawah kolong jembatan, gorong-gorong maupun terminal bawah tanah. Tapi, aku sudah lelah. Kepalaku penat. Rambutku mulai berjatuhan. Berita-berita di televisi masih serius mengabarkan hilangnya senja. Aku mulai tidak kuasa menahan rasa lelahku. Aku mengantuk. Aku ingin tidur. Namun, bukankah aku sedang bermimpi? Dan kenapa aku harus tertidur dalam mimpiku? Bukankah aku harus segera mencari senjaku yang hilang?
Tiba-tiba aku menerima sebuah surat elektronik. Ternyata berasal dari si pengarang. Isinya berbunyi: ”Saudaraku, terima kasih engkau mau mengalah memberikan senja dalam mimpimu untuk ceritaku. Aku sebenarnya tidak mau melakukan hal ini. Pun, aku juga bukan orang egois. Aku tidak akan memotong senja hanya untuk pacarku. Aku cuma ingin membingkai cerita ini. Teruslah memburu senja. Kelak kita akan bertemu setelah kau temukan senjamu. Biar cerita ini terus mengalir dan membangun senja dalam dirimu. Teruslah mencari senja. THANKS, PENGARANG”. Sontak kubanting layar komputer sampai pecah berkeping-keping dan dari pecahan-pecahan itu terpercik bunga listrik.
“Kurang ajar!”


*) Penulis adalah pelajar Unesa



Puisi:
Di Bangku Malam

Kupangku keesahan dalam benak membara
Terhunus keris yang mengabur indah
Meronta segala rona jiwa terbukti di kali berbuih

Kereta memutar resah menjala gelisah
Sehari sudah mengolah gerak

Tapi malam kan mengelam
Sesampai hitam menikam

Berbagai sepi terurai sampai pagi
Air mata mengalir lagi


perspektifsastra.blogspot.com




Perang

Kirab panglima tertatih menjemput pedih
Sekompi artileri berurai perih
“aku menanggung malu pati negeriku”
Kira ini sensasi?
Telah berjuang sekompi ini
Kupasung anak isteri di bui(.)
Hingga habis usia ini

Berkoar dalam bencana
Menggila di arena pancung diri
Berebut nasi sepanci
Di terik mentari.


(saat kuliah hari rabu presentasi proposal pagi cukup dingin)

perspektifsastra.blogspot.com

0 komentar: