BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Minggu, 23 September 2007

Gerilya Edisi 4


Ta’ Sunggo’i....!!???*)

Halo konco koncoku..Halo sahabat sahabatku..Halo dulur dulurku..Halo koncone koncoku..

Tanpa bermaksud mengurangi nilai estetika yang ditawarkan oleh teman-teman dalam karyanya di sini, Pengantar dari kita pembawaannya emang gini, Relax.., Santai.., Enjoy.., mungkin rodo’ Nggaple’i. Tapi intinya gak gitu, iki serius wah!! “Paham ya, maksud saya ?”
Ho hoouey..!! ☺

Parahnya, sempat terpikir gak ada edisi Gerilya kali ini, ‘cuz satu dan lain hal. Untungnya kita segera ingat bahwa GERILYA merupakan media milik khalayak, yang berarti bukan hanya milik satu golongan (banyak yang udah ngantri e).
Akankah GERILYA rampung?
“ooo...gak bisa gitu!!”
“Kan gak asyik to?!!!”
inilah alasan tema yang kita angkat untuk edisi kali ini
“Perang Belum Berakhir”
Dan satu hal lagi, “Kenapa Satu? Yaa.., saya tau satu itu default, tapi dibalik itu ada sesuatu”.
Apa yang kita hadirkan kali ini semoga berkenan buat teman-teman. “Yaaa...nggak banyak sih, tapi semoga bisa membantu kalian”
Ini jadi semacam hasrat yang nggak bisa dibendung lagi, hingga pilihan kata yang meluncur: “Keleresan, kulo badhe nderek bebucal” ... mak brull.
(Alaah..!! iki opo maneh?!! )
Poko’e ekspresi ini harus disalurkan di tempat yang benar.
G E R I L Y A ! !
Kalo masih bingung dengan kata-kata kita, silahkan mencoba “Pendekatan Cultural Studies”.

Oh iyo.., meh lali Bo’ !!
Awak dewe ape matur suwon:
Semua teman-teman yang telah ndukung & nyumbang GERILYA (Moril & materiil)
F Tse (Kiriman Detektifnya), Tim Cagak (Kita sama-sama hamba Allah), METAMORF*** (LAKUM DIINUKUM WALIYADIIN), Trio Kebo (Aduhai.., kalian berlebihan), Trio Macan (Saran Yang Konstruktif), Koncone Koncoku (Sepurane=Suwon), SR ‘04 (Kelas Yang Aneh), Arek Non Reg (We Love U Guys!), 9 Bidadari Sastra Inggris (Masya Allah!!!, Karaoke dengan kalian benar-benar bikin kita Puas !! )
Pak Jack P. (Atas Saran dan Cokcokcokcoknya)
Pak Nadjid (Dukungan dan Kontribusinya)
Dan semua pihak yang telah mengontaminasi & menginspirasi kita, termasuk dalam bentuk kutipan-kutipan.

*) Variasi Bhs. Khas Gresik


SELAMAT MENIKMATI
**** PELOEK TJIOEM DARI KAMI ****

Suicide

Hatiku berbisik lirih di tengah kesunyian malam yang semakin
menggila memeluk erat kesendirianku kali ini. Ya, setidaknya
aku masih hidup kali ini. Meski hanya sekadar untuk tengadahkan
kepala yang ada di atas leherku.

Malam yang bagiku maha luas dan yang selalu digambarkan banyak
menuntut kesunyian yang tergaris dalam makna ketersisihan,
kini tak lagi mampu menyeruak, membekukan ribuan buluh nadi
di tubuhku. Dingin itu tiada pernah lagi kurasakan di
permukaan kulit yang membungkus tua nyawaku; nyawa yang
berdiri sebagai alasan terbesar bagiku untuk tetap di sini,
menanti fajar yang akan membunuhku kelak.

Sesekali ku coba serukan pada hati kecilku bahwa aku tak
mampu menguraikan arti hidup yang lelah ku jalani hingga kini,
lantas kenapa aku masih terus hirupi sesak udara di tengah usia
yang kian menua. Bukankah semua kebodohan dan khilafku ini
telah cukup untuk dijadikan-Nya alasan kirimkan malaikat
padaku, lalu dengan ketajaman matanya, mencabuti nyawa yang
tercecer di setiap sendi tulang rapuhku. Mungkin saat itu
aku tak akan mampu menangis, tak mampu kiaskan kesedihanku
lewat kata atau pun raut muka, karena sekali lagi, aku
telah lupa dengan semuanya. Aku bagaikan tubuh tanpa hati,
tak mampu merasa, tak lagi dunia buatku tergoda.

Wahai engkau kidung-kidung yang mengantarkan kelelapan sang kala, jangan pernah lagi kau lantunkan barisan irama sumbang itu dalam rona bait-bait gelap, irama bersajak rintihan masa laluku. Mungkin aku hanya tak inginkan lagi masa itu kembali menghantui otakku yang lemah ini, karena di sana masih tersimpan harapan untuk anak bungsuku, satu-satunya sandaran imajiku, agar tiada pernah dilakoni olehnya sebuah cerita yang maha kejam, yang telah membunuh aku, ayahnya, secara perlahan-lahan dan begitu menyakitkan. Sekiranya ratusan pedang tumpul bergerigi yang ditancapkan di tubuh lalu secara bersamaan dan pelan-pelan dicabut seraya digoyang-goyangkan ujungnya, rasa sakit itu tiada sebanding dengan derita yang merangkulku. Tak pernah terkiaskan dengan seribu doa-doa yang kerap terucap dari mulut yang hangus terbakar jilatan api kemurkaan, sebuah neraka yang telah diciptakan manusia di dasar hati mereka.

Jika hanya untuk sebuah keabsahan tanpa ujung, kenapa hidupku ini terus kuperjuangkan? Untuk apa usia ini kulalui layaknya meniti sehelai bayangan samar, tanpa sebuah kepastian, tanpa arti. Dan jika tak kurengkuhi sisa helai nafasku, aku pun tak ingin bertanya-tanya pada takdir tentang siksaan yang kujalani kelak, sebagai sebuah imbalan manis atas deru emosiku. Aku merasa semakin jauh dengan diriku, meski tak kulihat segumpal dosa yang menghalangi langkahku. Apakah aku hidup, atau mati, atau tengah berada di batas hidup dan mati, terdampar di dunia yang kosong tak berpenghuni, sendiri, sepi, lalu sedikit demi sedikit menghilang seperti asap yang mengepul di antara sekat-sekat nuraniku. Kosong, kata yang selalu ingin kuperdengarkan pada mereka, mimpi yang fatal, tak bermoral, namun terasa kenyal, seperti pelacur binal, yang telanjang di atas bantal. Tampak menggoda, dengan nafsu yang menggelora. Menggelinjang pasrah, tak kuasa luapkan amarah, berteriak dan mendesah, lalu tergolek lemah.

Itulah mimpiku, mungkin sebuah cermin keresahan yang tertuang dalam imajinasi tanpa arah. Seperti semuanya, aku yang seakan lemah tanpa harap, mencoba lupakan angan itu, hingga tak harus kudapati kembali ingatan atasnya, meski telah terbias sedari aku bergelayutan dalam rahim Ibuku.

Adhany Hakim





.....Keberuntungan
.....Kemalangan
.....Kebahagiaan
.....Kesedihan


Dalam kesedihan,dalam kebahagiaan,dalam keberuntungan, dalam kemalangan,dalam keberuntungan,dalam kesedihan,dalam kebahagiaan,dalam kemalangan,dalam ke..,dalam ..,dalam...
Dalam..

Dari..
Perenungan
Penantian
Kesendirian...

Hanya gaung dari teriakanku sendiri yang kudengar,
kemana semua orang?
Sejauh mata memandang sejauh itulah perjalanan, dan sejauh ini hanya penderitaan

Pintu-pintu kembali ditutup
Haruskah aku kembali mencari
Haruskah makna mengurai arti
harusnya

Masih tentang makna dan arti
Tunjukkan!!
Kau bekali aku kuku, gigi, dan pengindera
Masih saja...
Kenapa tak kau tunjukkan bagaimana aku harus hidup

Dalam kekuatanku ada kerapuhanku
Dalam pengelihatanku ada kebutaanku
Dalam hidupku menyembunyikan kesekaratanku

Aku hanya tak ingin kerinduanku padamu mengantarkan aku lebih sesat dan menjauh darimu

Tunjukkan padaku bagaimana aku harus hidup


Lee Hay
Jo-To-San Inn, April 07



ANyelir JINGga

Matanya membekas di mataku. Bibirnya yang kukulum mengenyahkan ragu yang membelenggu. Di sudut, aku temui dia mengulum senyum pahit yang menggigit. Ia lari dalam dekapku. Buatku tersadar, ia bukan milikku. Kebersamaan selama ini hanyalah mimpi.
An, kau kabut yang tak tersentuh. Kau datang penuhi relung setiap ruang kosong yang hadir. Warnai pagi yang beku dengan putihmu. Pergi saat hati ingin milikimu. Apa maumu tak ada yang tahu.
Saat itu aku melihat sudut matamu yang basah, sebutkan satu nama yang pernah kau cinta. Di dekapku kau tumpahkan aliran hangat yang bagiku itu adalah aliran kasih tak terperi. Lalu kau pergi.
Kamu memang kabut. Yang menutupi pandangan keindahan pagi. Yang mendinginkan kehangatan pagi. Yang basahkan udara untuk kuhirup. Kau racun. Tapi ku tetap suka. Menghirupmu.
“Aku bukan mentari, Re. yang kan hangatkan di pagi yang kau jalani. Aku kabut seperti yang telah kau cipta di setiap langkahmu. Ku tak bisa senantiasa temanimu seperti angin yang kau sukai, serta debu yang kau cintai. Aku kabut yang senantiasa datang dan pergi sesuka hati. Aku kabut yang senantiasa basahi paru-paru lalu membunuh. Aku racun. Racun yang cantik. Terlalu cantik untuk dimengerti.”
Selalu itu saja yang selalu kau ucap tiap kuminta kau tinggal di sisi. Temaniku dalam kesepian yang membelenggu. Temani hariku yang tinggal satu-satu.
An...
Kenapa kau kabut? Kenapa kau bukan udara? Yang kan senantiasa suplai oksigen dalam darahku, mengalir di setiap rongga hidupku. Apakah karna aku bukan pagi yang bisa menerima kehadiranmu? Atau aku terlalu lacur untukmu? Yang selalu menghirup wangi ... di tubuh mawar-mawar berduri. Beritahu aku An...
“Aku berubah bukan karna cintaku pada pagi. Bukan. pula tak ada cintaku padamu, Re. Namun kau sendiri yang mengaburkan pandanganku, menjadikanku kabut yang rapuh. Mudah lenyap saat kau mencoba menggenggamku. Aku kabut karena kau bukan ruang yang kuharapkan.”
Setelah itu kau akan pergi ke gunung-gunung tuk berkejaran dengan pinus yang manjakanmu, dengan belaian rumput basah yang menenggelamkanmu dalam cinta, dengan tanah merah yang kan mendekapimu dengan hangat serta tetesan embun yang buatmu tersenyum.
An...
Anyelir Jingga...
Aku tak mau ucapkan kata pisah, karna kita tak pernah berjumpa. Anggap saja demikian. Aku tak mau pergi, karna ku tak pernah datang pagi ini. Biar saja begini. Aku tak akan mendekapmu, karna ku tak pernah milikimu. Bukan ku merayu.
Hari selalu berubah hingga kau mau merubah kabutmu menjadi udara pagi bagi Re yang lain. Aku tetap di sini, di dalam gundukan tanah merah ini, yang siap mendekapmu, jika pagi tak lagi temuimu. Dan kau serta merta menaburi gundukan ini dengan putihmu yang suci, meski hati tak kau beri. Gundukan ini tetap kan dampingi hingga tetesan embun tak lagi banjiri sudut matamu.

19.18
Room, 030407
eLCeeS



Kembali Pada Sebuah Cinta

Kembali pada sebuah cinta. Aku
Menitipkan daun murbei ini untukmu
Kusisipkan setetes embun pada urat-uratnya
Untuk mengingatkanmu, pada geliat tanah
Yang menjalari darah lelakiku

Aku mengingatkanmu
: akan angin dan daun kering yang bercumbuan
serupa lonceng jam 12 malam, awal penyatuan
mimpi-mimpi kita

September 2006
Dody Kriswaluyo



Intermesso Dalam Renungan

Sendiri dalam luka penuh cambuk
Eluhku mengering perlahan
Mencoba raih jemari kasih-Mu

Ku rasakan sendiri nikmat menyepi
Melambungkan angan hingga titik akhir

Pun terasa damai di hati
Walau aneh mengusik mimpi tiap hari
Aku tlah kebal oleh kegembelan duniawi


27 Nov-17 Des ‘06
M1cky
Mikaart07@yahoo.com




Merana

Sulut nyala api
Dengan segala kesombongan
Serta keangkuhan diri
Persetan dengan fana
Semua hanya kepalsuan
Yang kuulihat
Ulat menggeliat dengan tawanya
Sendiriku
Meranaku

07.05
Son river, 14 April ‘07
Nyam2



A Great Beat
(untuk *Setangkai Melati )

Menyayangi dengan bergerilya? Ketahuilah bahwa tak semua rasa kesayangan dapat langsung kita ungkapkan untuknya. Ia yang kita sayangi, yang melebihi sayang kita kepada Tuhan dan Rasul-Nya, yang selalu memujanya tiap bulan menggantung, yang tak lepas membayangkannya, yang mengharapkan mimpinya, yang selalu mengejar cahayanya, hingga memanggil-manggil jiwanya setelah mentari anjlog, yang memercayainya dan meyakininya hingga ajal.
փ
ჰჰ
տ տ
უ…
Sebagian dari rasa yang amat itu, mungkin hanya kita ungkapkan melalui gerilya, mengendap-endap, muncul tak muncul, kebelet nggak kebelet, asal kita suka, asal kita bahagia, tak tahu berbuat apa. Subhanallah… Hanya berbekal tawakkal sajakah? Tak ada kasih tak berkorban. Terlebih nyawa sekalipun.

Tentunya kita tahu bahwa kegerilyaan itu tak selamanya membahagiakan, menyenangkan, membuat kita selalu tersenyum lebar atau sekedar mesam-mesem, hingga Malaikat Rokib dan Malaikat Atid pun meringis. Pasti ujung-ujungnya hati kita harus mengalami lachrymose, tersayat, memerih, mengaduh, menyesal, yang tak bisa terhapus layaknya goresan pensil disapu karet penghapus di atas kertas. Yah, walau firman-firman Allah tetap kita kecapi untuk melupakan rasa itu sebelum berangan malam, saat hati yang mengujung, meruncing, kala otak dihantuinya, namun pasti dan tetap tak terhapus kegundahan itu, yang masih bergentayangan di dalam isi kepala, yang entah dengan apa penyelesaiannya, kita hanya terus berpikir, merenung, terlebih melamun mematung seperti Joko Dolog, yang segalanya tak terjawab.

Ada baiknya jika kita memetik buah zaitun, menaruhnya di lidah, mengecapinya, lalu menelannya hingga usus menggiling. Mengungkapkan berbagai rasa keindahan itu dengan tidak bergerilya yang seolah kau sedang dalam peperangan. Walaupun kita terlalu menyayangi dan terlalu memikirkannya. Tetapi bersabarlah dengan hati putih, ikhlaskan segalanya. Pahamilah segalanya hanya dalam ikhlas.

Aku memercayaimu, yang tak pernah mengkambinghitamkan kasih sayang hanya untuk kau.
Hanya karena cahayamu.

12.26 am
Friday, 11 Rabiul Awal 1428 H
relleT
*inspired by Danarto



Doa Seorang Pendosa

Tuhan terima kasih...
Engkau telah hadirkanku
Tuk sambut tahun yang baru ini
Tapi...
Aku tau masih banyak tantangan di depan sana
Tantangan yang selalu ada disetiap aku melangkah
Tantangan yang harus kulalui

Aku tak berharap agar aku,
Kau jauhkan dari godaan!
Tapi aku harap kuatkanlah aku
Kuatkan tuk hadapi kenyataan!
Ku tahu...
Kau pasti kan menuntunku
Tuk slalu berjalan lurus sesuai rencana-Mu!!

03:36:56
Dwipa 010107


Sayatan Sayatan Tajam

Burung Nuri itu tertawa ngakak
Akan nasib kita.
Di mana luka-luka itu buramkan mata
Dan menyeret-nyeret nyawa yang masih tengkurap lemah.

Mimpiku sirna
Hanya ada tawa renyah sang penguasa
Nyawaku, arwahku merajuk dan menari

Mencari belatung-belatung yang masih
Terkurung dalam kebebasan tak pasti
Mencari jawab atas arti
Kebebasan dan kemerdekaan.

Soem Anna
SR’04



Sekotak Permen

Kamu...
Lama kutunggu
Kamu...
Udah janji malam itu
Bahwa kamu...
Ngajak nonton hari sabtu
Tapi mana?
Aku udah nunggu lama
Batang hidungmu nggak nongol juga
Kamu pasti nggak tahu
Aku udah habis makan permen berapa
Semenit... dua menit...
Emang nggak terasa
Tapi tiga puluh menit?
Itu udah lumayan lama
Satu jam masih kutunggu
Dua jam aku pergi berlalu
Kar’na sekotak permenku
Habis buat nungguin kamu

21.52 WIB
3 Desember 2002
Imey
PBSI ‘03


Kita Manusia

Kau, kamu, dan kalian
Bagiku Cuma sekedar
Bajingan!

Kau setan
Kamu korban
Kalian bangsa kebangsatan
Karena kita sama-sama manusia

Mbah ‘05
poet_aholic@yahoo.co.id



Suara Itu...

Keindahan suara yang meluncur dari mulut setiap saat dapat membius pendengarnya. Nada tinggi dan nada rendah yang sangat kontras akan terdengar serasi dan memesona jika terucap dengan kontrol yang baik. Nada-nada itu akan menjadi suatu harmoni seperti nyanyian penyejuk jiwa.

Nada tinggi seringkali membuat orang tercengang dengan lengkingannya yang menyayat hati. Semakin tinggi suaranya, akan membuat hati semakin merinding. Mencekam, seperti lamgit hitam. Ketika nada tinggi itu merendah, segala kerendahannya akan menerjang malam yang mencekam. Nada rendah adalah cahaya kedamaian yang tak padam oleh hembusan waktu. Suaranya senantiasa menerangi sudut-sudut kepalsuan yang menyesatkan.

Suara tinggi suara rendah. Sepasang namuun tak akan pernah bersanding. Suara rendah berpijak di bumi, suara tinggi menari di langit. Bumi mengandung jiwa, langit mengandung raga. Di mana mereka berada?

Suara tinggi suara rendah, temukanlah di dalam suara hati.

01:09
6 on des



Rindu Cahaya


Kesalahan demi kesalahan berlalu
Disapu redupnya cahaya jiwa
Hitam semakin hitam hariku
Tanpa tawa hanya tangis jiwa

Melihat jauh ke belakang
Semua telah usang
Hari hari indah yang dulu menjelang
Kini mulai kurindukan

Aku terjebak di hitam putih
Tanpa warna tanpa cahaya
Terjerat kemilau masa silam

Tanpa langkah Hanya angan
Diantara terbit dan tenggelam
Diantara dosa-dosa yang semakin menjulang
Ku di sini sendiri
Menanti kedatanganmu wahai dewi cahaya

Tuk sinari jiwa ini
Tuk tumbuhkan lagi asaku
Tuk mulai melangkah
Meninggalkan dosa dan kenangan indah masa lalu

Di sini aku hanya bisa menanti
Tanpa sanggup tuk mencari
Apakah kamu akan datang???
Mungkin kamu tidak akan datang!!!

June 05th 2005
Fandy Linggo Djiwo
British Youth ‘04



MUQATTA’AT 39 *)

SATUKANLAH aku, wahai Yang Maha Tunggal, dan aku bersaksi dengan sepenuhnya bahwa Tuhan adalah Satu, melalui sebuah perjanjian rahasia di mana tak satupun jalan menyediakannya!

Akulah kebenaran, dan kebenaran diberikan pada mereka yang terpilih, dari dasar pribadinya, dan tidak ada lagi pemisahan di antara kita,

Inilah kejernihan yang terpancar, berkilauan bagai percikan kilat.


AL HALLAJ

*) Dalam Diwan Al Hallaj

Rabu, 11 April 2007

Gerilya Volume 3


The Black Cat is back!!!
Diawali dari sekadar iseng sampai pada detik ini, GERILYA dari edisi ke edisi semakin mengukuhkan namanya di peta ajang kreativitas, khususnya dalam hal ini tulis menulis. We all the crew who will stay true.
Buktine lo, perhatian dan partisipasi dari teman-teman terus mengalir, suwon yo rek!.

Tapi, ada satu yang pengen kita sampein kali ini.
GERILYA lo, hanya baru dapat kritikan-kritikan lisan, bukane nyombong lo ya? ‘cuz seperti pepatah bilang, “lebih baik nyombong dari pada minder”. Jadi gini, dari teman-teman pembaca, apa ga’ ada yang mo nulis kritiknya? Ngajak diskusi tentang karya ta? Bikin seminar kecil-kecilan ta? Biar apa yang kita lakukan selama ini lebih mantab kale’!? Hyuk! Yooo.. Pokoknya sampe’ kapan pun, yang semacam itu masih ditunggulah. Kita lo juga bakal dengan berani mempertanggung-jawabkan tulisan-tulisan kita. Laapo wedhi?!!

Api ini akan tetap membara.
Dengan tidak melupakan semangat dan komitmen awal kita, GERILYA, Berjuang Independen. selain sebagai sebuah wadah kreasi, rekreasi dan pembawa pesan (messenger), kita juga menyampaikan isu-isu terkini. Kita masih akan terus bereksperimen dan mencari bentuk yang sebisanya dan sedekatnya dapat mewakili masyarakat penikmat GERILYA.
SLIK!
HAHAHAHA...

Perjuangan tak pernah berakhir!!!




Cursing Aphrodyte

DAMN YOU Aphrodyte!
You bare a son that drives me crazy!
He walked in that night into my chamber
Whispering something, interrupting slumber

HE SAID :
“With this kiss I give to thy bosom,
thou shall not be lonesome.”
Then he kissed my bare chest
AND DAMN! That was the best

Starza
English Literature ‘04


My Black Naked Rose

Deru deras sebening kristal, melukis lekukan kabut yang kau pasang
uap lepas tersengal-sengal, menghias permukaan lembut yang kau pajang
hawa panas terbanting kental, mengais deburan laut yang kau tantang
gila ganas terpental-pental, pemuas hamparan rambut yang kau pandang.

Air mengucur
Air turun
Air terjun
Air hancur...

Semua telah keluar
Nyanyian koar-koar
Iman liar
Tak berpijar

Wewangian kuburan hanyut dalam semerbak bunga malam,
Hiruk pikuk asap kamboja membatik dalam bujur kamar nafsu.

9.17 PM
Des, 16th ’06
relleT


Satu Satu Tujuh

Gemerlap meriahnya pesta di tahun baru
Awal petaka tanah kelahiranku
Aku mendengar jerit dan tangis
Saudaraku di dalam sebuah pesawat
Selalu dan selalu bangsaku cacat
Dalam sejarah. Menghancurkan
Cita-cita membawa kisah
Air mata... Air mata...
Cukupkah Tuan-tuan hanya duduk-duduk saja
Ataukah hanya ucapkan belasungkawa
Aku bosan, aku muak!
Kapankah nestapa bangsaku ‘kan berakhir?
Mungkinkah Tuhan sudah mulai murka
Ataukah umatnya yang tak lagi mengakui Tuhannya!
Bumi Pertiwi kini menangis lagi
Cobaan dan penderitaan datang silih berganti
Banjir dan tanah longsor selalu menghiasi
Mayat-mayat berserakan, bangkai pesawat
Seakan-akan lemparkan amarah
Menangis negeriku
Menjerit Indonesiaku.

Fans Fals ‘04


Sungguh Benar

Sesungguhnya...
Sesungguh-sungguhnya yang sungguh-sungguh
Tak lebih sungguh-sungguh
Dari yang benar-benar tak sungguh-sungguh
Dari yang sesungguhnya

Sebenarnya...
Sebenar-benarnya yang benar-benar benar
Tak lebih benar-benar benar
Dari sungguh-sungguh benar
Dari yang sebenarnya.

070107
00:15:56
Dwipa


Aku, kamu, diriku dan dirimu
Aku adalah diriku
Kamu bukan diriku
Itulah aku.
Kuelak dengan segala usahaku
Benci, jijik kutatap wajahmu
Maukah kau merobek bayangmu
Mati lebih berarti bagimu
Percuma cegah kau dengan segala susah
Semua persetan dengan sumpah serapah
Lupakan semua sesalmu
Tak usah kau risau
Apapun itu bentuk punggungmu
Ku tahu di sana kau simpan ala kisah

S. H. W.



Kau

Iseng
Iseng iseng
Iseng iseng
Iseng iseng
Iseng iseng
Iseng yah ternyata cuma iseng

(Da’an)


Lonjrot

Ketika aku berdiri
Aku melihat seekor tikus sedang bercinta
Inginku seperti dia
Menikmati walau dilihat banyak orang
Tak tahu mana rasa mana dosa
Tikus yang lonjrot

G46uK
Ser ‘04

Surealisme Cinta

Mengimani secuil syahwat yang ranum
Aku memasuki lorong pendiamanmu, sebuah episode
Kering dan petak-petak sepi
Seribu dingin luruh bersama gairah runtuh
Katakanlah, bagaimana keresahanku bercampur
Dengan kegelisahan para pemadat
Aku sayat perutku, serupa mimpi patung-patung
Dan malaikat bersayap perang tanding
Tapi biar aku mengintipmu, revolusi bunga
Di tengah sesembahan tanpa rupa
Sebab, ruang yang kuimpikan telah musnah
Mataku tertutup, kemesraanmu lebih ganas
Dari sengat matahari.

Aku kembali pada rahimmu, jalan
Setapak nanar, tempatku tumbuh mencemburui
Kerinduan. Kubayangkan ilusi mayat mabuk terbang
Atau gedung-gedung menghardik tidurku, fantasiku
Bergayut dengan pohon tumbang. Sebentuk surealisme cinta
Yang patah atau kuburan kupahat dalam bayangan
Putih. Sebab selalu kuimpikan
“Tak ada cinta untuk esok hari”

Januari 2007
Dody Kriswaluyo


Hancur

Rampungkan semua ayat-ayat yang kau baca
Jika seterusnya kau tak lagi mampu
Nikmati sajak itu meski hanya sejenak saja
Maka tetapkan detak hatimu untuknya
Hanya untuk sebuah kenikmatan sekejap
Dirimu akan datang ke sana bersamanya
Beserta ribuan bayangan dalam angan
Lalu dengarkan buai angin neraka itu
Yang begitu akrab terdengar oleh telingamu
Terimalah semuanya dengan hati tertawa
Teriakan itu akan terasa begitu sumbang
Saat tak lagi kau jumpai di dalam kerapuhan
Diamlah!
Jangan lagi mencoba dekati langsiran hati
Yang dalam dongeng selalu terkisah indah
Teriakkan saja parau dan galau suaramu
Di puncak menara suar keheningan dunia
Niscaya mereka akan mencoba temukanmu
Meski telah hampa, tanpa sehelai nyawa

Surabaya ‘07
Adhany Hakim



Membelah Diri


Kali ini biarkan aku mempersilahkanmu masuk ke duniaku, dimana ruang dan waktu tak lagi berarti. Ujung ke ujung, atas dan bawah, rapi dan kacau. Dalam kemanusiaanku atau kebinatanganku, bebas kendali hanya itu. Dalam kekayaanku atau kemiskinanku, aku tak lagi peduli. Kepandaian atau kebodohan bukan bagian dari diriku yang ada hanya kebenaran dan kemenanganku. Dan jangan pernah mempertanyakan tentang keteraturan kepadaku, aku tak pernah mengenal kata itu.

Hari ke hari, waktu ke waktu seperti inilah perjalananku, entah ini akan kusebut keberhasilan atau kemunduran,
hidup untuk mencapai kehidupan, atau hidup hanya untuk menunggu kematian, tak ingin kutentukan semua itu, tak ada untungnya, pada akhirnya semua itu hanya sebuah istilah.
Hanya saja aku telah melewati begitu banyak hal dalam hidup, ombak demi ombak, badai demi badai, perang-perang itu, kemenanagan-kemenangan itu, kehebatan-kehebatan itu. Yah.. sekali lagi, kehebatanku.
Karena aku tak pernah kalah, aku tak pernah jatuh, aku tak pernah..., maksudku aku tak ingin pernah.
Semua yang ada padaku haruslah hal-hal terhebat yang pernah didengar orang. Jika ada satu hal saja yang tidak hebat dariku, maka takkan kubiarkan mereka mendengarnya, kalau perlu akan kusumbat kuping mereka, karena aku tak pernah layak untuk disebut tidak hebat.

Jika kau berbicara menggunakan mulut dan lidahmu, aku hanya akan berbicara dengan kesombonganku, jika kau berjalan menapak bumi, aku sudah tidak pernah lagi menginjak tanah kotor bumi ini. jika kau berteman dalam rangka kau peduli, aku hanya butuh teman untuk mengelap bokongku, persetan dengan kepedulian.
Tak pernah ada ikatan emosional dalam diriku, ikatan semacam itu hanya untuk anak ingusan, aku hanya mengenal kata emosional ketika aku harus mendaratkan Iron fist-ku ke wajah-wajah tolol mereka.
Dengan begitu, maka mereka juga akan tahu bahwa aku exist.

*) If you’re free you’ll never see the wall
If your head is clear you’ll never free fall
If you’re right you’ll never fear the wrong
If your head is high you’ll never fear at all

***

Matahari meredup, bulat keemasan di ujung barat.
Senjakala, tawarannya selalu saja begitu dramatis.
Kekosongan ini kembali menyergapku ... Arghh!!

. . . kosong . . . . +#0@3&$)%. . . .kosong . . . . . .
. . . . . . #%?@0?. . . . . . . . . . . kosong . . .
!!!!!!!!!!!!! . . . . . . @#8]$8#?? . . . . . . kosong!!!
. . . . . . . . . . . .What The Fuck !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Sementara kakiku masih terus mengayun.
Tak ada yang baru dalam seharian ini, seperti kemarin, seperti kemarin lusa, seperti seminggu, sebulan ,setahun, atau mungkin seabad yang lalu, sama, labirin yang sama.
Dimulai dengan senyum suram sang fajar, kemudian roti yang sama, senyum-senyum palsu yang sama, sampai di ujung hari sang malam akan menutupnya dengan mimpi-mimpi yang sama, dengan hantu-hantu yang sama pula, semua hanya rutinitas, semua melebur kembali, kekosongan setelah kekosongan.
Sang waktu hanya akan berjalan dengan lambat, Setelah itu tempat ini akan semakin menyempit dan menyempit saja,
yah…, aku tahu, disini sempit, bahkan terlalu sempit,
dunia memang terlalu sempit untukku.

. . . kosong . . . . +#0@3&$)%. . . .kosong . . . . . .
. . . . . . #%?@0?. . . . . . . . . . . kosong . . .
!!!!!!!!!!!!! . . . . . . @#8]$8#?? . . . . . . kosong!!!
.. . . . . . . . . . . .What The Fuck !!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Aku benci berharap, tapi aku ingin tahu apa yang akan dibawa oleh si angin senja kali ini?
Aku berharap ada sesuatu yang baru kali ini, mungkin hanya satu, satu saja, atau mungkin beberapa, karena disini semua telah menjadi begitu usang. Biarlah kali ini aku kembali menaruh harapan, tapi kali ini terakhir, benar-benar untuk yang terakhir kalinya.

Udara mulai terasa dingin di luar sini, masih seperti biasa, orang-orang mulai menyalakan lampu, orang-orang mulai berkumpul mengelilingi perapian di dalam rumah mereka, dengan begitu mereka pikir mereka bisa melawan hawa dingin ini. Entah apa yang sebenarnya ada dalam pikiran mereka, aku tak mengerti, dan tak pernah ingin mengertinya. Sepertinya mereka begitu takut gelap, dasar pengecut, mereka memang pengecut yang takut pada dingin dan kegelapan.

Tapi akulah si kegelapan, aku hanya hidup dalam kegelapan, Sebenarnya disinilah, di kota kegelapan inilah mereka menguburku, hingga takkan ada seorang pun melihat, hingga tak seorang pun datang menghampiri.
Di tempat inilah, tempat dimana sebuah lubang gelap dan besar di sebuah kota, kota yang terlanjur kusebut kota laknat, disinilah aku berkuasa.

***

Langkah kaki terus membawaku semakin jauh, tiba di pinggiran kota aku bertemu seorang Koboi tua, dia telah pulang dari penggembalaannya, kulihat dia sedang mempersiapkan diri untuk peristirahatannya.
tapi kenapa? Apakah sang senja pula alasannya?
Aku menatap jauh ke dalam pandangan matanya, masih bisa kutemukan jejak-jejak mata elang disana, namun waktu telah mengikisnya, yang ada kini hanya pandangan sayu.
Sesuatu mengatakan padaku, dia begitu lelah, dia pernah kesini sebelumnya dan kini dia kembali lagi kesini, hanya berputar-putar, dan aku tahu dengan pasti, sekarang hampir tiba waktu itu untuknya.
Dia menyapaku “anak muda..,” (kata-katanya terhenti sejenak), dari situ aku tahu, walaupun aku belum pernah bertemu dengannya, ternyata dia telah begitu mengenalku.
Dan aku hanya berdiam diri, hanya terus saja menatapnya.
Lalu dia melanjutkan kata-katanya,
“...pengalaman akan membawa kebijaksanaan, Hmmm..!! Apa kau benar-benar menikmati waktumu?!!”.
dengan nada mencemooh, kata-kata itu meluncur dengan mulus di sela-sela nafas tuanya.
Dan tanpa menunggu jawaban dariku, dia masuk, meninggalkanku begitu saja di depan pintu rumahnya.
. . . . . . . . . . . . . . . ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?
. . . . . . . . . ? ? ? ? ? ? ? ? . . . . . . . . . .
...Sejenak aku tersentak oleh kata-kata pria tua itu.
Damn..!! lalu aku menjawab dengan meneriakinya.
“yeah.., old man, say what the hell you say!!”
Kurasa aku telah membuatnya teringat akan masa-masa kejayaannya, sementara hari ini aku dengan tubuhku yang masih tegap, otot-ototku yang masih kekar, kulitku yang masih kencang, mataku yang masih setajam mata burung Condor, dan semua dalam diriku yang masih dalam keadaan prima. Pastilah semua ini membuatnya iri, karena inilah yang kusebut dengan kemilau masa mudaku, masa keemasanku.
Masih dengan belati di pinggang, aku kembali melenggang.

“Kenapa hitam, kenapa putih, bagaimana dengan abu-abu?
Kenapa salah, kenapa benar, kenapa, selalu saja, kenapa??”
Aku mendengar suara-suara itu lagi, pertanyaan-Pertanyaan itu lagi, tapi yang ini begitu jelas.
Terdangar dari balik tembok dingin berjeruji, inilah cerita tentang seorang pria dengan rantai dan bandul besi di tangan dan kakinya.
Untuk kesalahan yang tak pernah dilakukannya, semua pertanyaan itu memang patut diutarakan.
Sekali lagi aku harus menatap wajahnya.
Kulihat setangkai mawar yang masih segar ditangan kanannya, dengan beberapa duri tajam di tangkainya, dia tetap menggenggamnya dengan erat.
Seketika itu pula ia tersenyum kepadaku, tak ada yang ganjil dalam senyumnya, sangat tulus, senyum itu pasti datang dari hatinya yang terdalam, aku bisa merasakannya. sampai pada kesimpulan terjauhku, aku bisa mengerti...
Bahwa tembok ini, jeruji ini, rantai dan bandul besi yang mengikat tangan dan kakinya, bahkan raganya pun tak akan mampu membelenggu jiwanya yang bebas, dia tetap burung yang terbang mengangkasa, dia tetap awan putih di musim semi.

Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, dia akan datang sekali lagi, dia yang selalu menghantuiku dalam mimpi-mimpi kelam. Dia yang meyakinkan aku, bahwa bersamanya aku akan terbebas dari segala kendali, yang belakangan ini telah kusadari, justru dialah yang selama ini mengambil alih atas kendali diriku.
Kurasa sekarang tibalah waktunya, aku harus mengambil keputusan malam ini juga. Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan bertemu dengan pria itu kali ini, aku telah demikian terusik, aku sudah muak dengan ulahnya, bahkan begitu nyata dia kerap kali menampakkan diri dalam cermin.
Malam ini, di jalanan ini, aku menemuinya, segera saja aku mendekatinya, tanpa banyak bicara aku mendaratkan beberapa kali bogem iron fist-ku padanya, tepat di wajah, dan sekali lagi, kali ini di mata kirinya, terus dan bertubi-tubi, tanpa ampun. Dan dia pun lari, tunggang langgang, saat aku memerintahkan dia untuk lari, dia lari sekuat tenaganya.
Dan begitu dia menolehkan wajahnya padaku sekali lagi, kali ini peluruku yang membuat lubang di kepalanya.

***

Fajar menyingsing, sinar Mentari lembut mengusapku, perlahan aku tersadar kembali, kubuka mata dan mentari menyambutku dengan senyuman hangatnya.
Aku sangat bersyukur, setelah untuk waktu yang entah berapa lama, aku kembali bisa merasakan kenikmatan ekstase ini sekali lagi dalam hidupku.

Tentang pria yang telah kubunuh semalam,
inikah keberhasilanku? Tidak, inilah kemenanganku.
Jauh dalam diriku, saat ini aku bisa merasakan arti sebuah kemenangan yang sesungguhnya.
Tanpa penyesalan, hanya rasa lega,
Dan tak ada tangisan, hanya lelehan air mata.
hari baru ini telah benar-benar tiba.
Aku terlahir kembali.

*) If you’re free you’ll never see the wall
If your head is clear you’ll never free fall
If you’re right you’ll never fear the wrong
If your head is high you’ll never fear at all




*) lirik lagu , Exploder by AUDIOSLAVE (:Sumber Inspirasi)

Krian, 070107
Lee Hay



Aku, Kau, dan Kereta


Aku terbangun dengan wajah yang masih memucat. Kutahu hal itu karena aku sempat melihat pantulan wajahku di cermin yang terletak di seberang ranjang. Tubuhku terlonjak begitu kudengar ponselku berbunyi. Ternyata hanya sebuah sms yang masuk, bukan dering telpon dari temen-temen yang biasanya butuh curhat atau mungkin sekedar ngobrol. Sempat kulirik jam digital kesayanganku yang berdiri tenang di atas meja rias. 01.32... ah, hari masih terlalu dini.
Kubiarkan ponselku tergeletak di sisi kiri bantal ularku karena aku masih sibuk menenangkan diri akibat keterkejutan tadi. Itulah kebiasaanku. Susah buatku untuk tidur kembali jika sudah terbangun. Akhirnya setelah kuteguk segelas teh dari kulkas kamar, kuraih ponsel yang tadi sempat kuabaikan.

Pio... saat ini aku berdiri di atas kapal! Dengan orang-orang yang sama... juga pemandangan yang sama. Tapi tak ada yang bisa merasakan sakralnya SELAT BALI, sama seperti saat kurasakan sakralnya STASIUNMU...

Aghhh!!! Aku selalu, selalu, dan selalu tak bisa membendung hujan di mataku saat kutemui sesuatu yang membawa perasaanku terbang ke pulau itu.
Libra, tak seharusnya kau membuatku merintih di pagi buta ini. Kenangan-kenangan itu... dan kerinduanku pada pulau mimpiku telah mengoyak-ngoyak perasaanku dan mencerai-beraikan jiwaku. Masih terkenang semuanya, delapan tahun silam. Begitu utuh dan gamblang. Bagaimana kita berjumpa di sana, di bawah air terjun untuk membuka perasaan kita yang ternyata sama. Tapi itu tidaklah berlangsung lama, setelah dua tahun kemudian kuputuskan untuk menghentikan episode kisah kita karena kuatnya sebuah dogma yang berdiri di antara kita berdua.
Tapi mengapa hingga kini kau tetap tak mau beranjak, untuk pergi dari hati yang kau anggap bagai mataharimu di kala siang, dan menjadi bintang yang paling terang di antara ribuan bintang yang menghantarkanmu pada lelapnya malam.
Pagi ini... kulangkahkan kakiku dengan tergesa memasuki ruang tunggu setelah kubayar karcis peron di stasiun kesayanganku. Yaaah... Seperti mengada-ada bukan jika stasiun inilah yang bisa menenangkanku saat ku rindu akan pulau mimpiku. Akupun maklum kalau kau, bahkan teman-temanku, menganggapku bodoh karena kubuang-buang waktuku hanya untuk duduk berjam-jam demi menunggu datangnya sebuah kereta yang akan pergi ataupun menuju ke arah timur. Padahal, biasanya aku sangat perhitungan sekali dengan tiap menit yang berlalu selain sesuatu yang mengingatkanku akan Bali. Toh akhirnya kalian tahu betapa sakralnya stasiun ini buatku. Betapa hebatnya stasiun ini, seakan-akan di dalamnya terdapat kekuatan magis yang entah mengapa bisa membuatku bersemangat dan kembali tersenyum kala jiwaku rapuh.
Inilah kegemaranku. Duduk di kursi yang terletak di pojok paling kiri dan menghadap ke arah utara. Dan itulah tempat favoritku. Cukup dengan sebuah discman dan sebuah novel atau bahkan terkadang album kenanganku akan pulau itu... aku bisa cukup sabar menanti datangnya kereta. Setelah kereta itu pergi, barulah aku kembali menuju rumah tempatku biasa berteduh dengan tenang.
Beberapa bulan kemudian, kuterima sepucuk surat yang datang menjelang senja. Awalnya, perasaanku biasa-biasa saja. Karena korespondensi adalah salah satu kegemaranku.
Kubaca halaman depan sampul surat itu. Jelas sekali surat itu tertuju untukku. Kubalik sisi halaman yang lain, mencoba mencari tahu siapa pengirimnya. Tapi halaman itu kosong. Tanpa pikir panjang segera kurobek bagian tepi sampulnya dan kubaca isinya yang singkat itu.

Sayang…
16 Juli nanti, kutunggu kau di tempat kesayanganmu!

Oh, mungkin orang iseng, begitu pikirku. Karena kadang ku sering dapat surat asing berisi rayuan-rayuan gombal sepanjang beberapa halaman dari orang-orang yang nggak pernah kukenal. Tapi, entahlah! Kali ini aku sedikit penasaran dengan pengirim surat itu. Apalagi isinya yang singkat menyebut-nyebut tentang tempat favoritku. Siapa yang tahu? Seingatku tidak ada.
Kuambil kembali surat tadi. Kubolak-balik sampai berkali-kali. Meneliti satu per satu tiap sudutnya. Barangkali saja kutemukan petunjuk siapa dan darimana pengirim surat ini berasal. Kucoba melihat bekas stempel di atas perangko surat. Yang tampak adalah seberkas tinta yang telah pudar. Tapi beruntunglah aku karena tekanan pada logam stempel membentuk garis-garis yang terbenam pada kertas, sehingga aku bisa melihat tulisan yang tertera meskipun samar-samar. Ah, tidak seberapa jelas. Aku berusaha keras menyusun huruf demi huruf dalam otakku. S-I-N-G. Sayang, ada tiga huruf yang hilang. Tapi dua huruf terakhirnya tampak tebal, sehingga mudah kutebak apa tulisan yang tertera. SINGARAJA. Dan aku yakin Libra-lah yang mengirimnya.
Ah, lagi-lagi aku dibuat terkejut olehnya. Apa yang diinginkannya pada 16 Juli nanti? 16 Juli... 16 Juli... berarti dua hari lagi. Di tempat favoritku. Ehm, sebentar! Di tempat favoritku? Berarti... dia bakal ke sini? Ke kota ini untuk menemuiku, setelah delapan tahun berlalu...
Kegalauanku petang ini akhirnya disadarkan oleh setumpuk pekerjaan yang membentang di depan mata. Setumpuk puisi Jaroslav Seivert yang harus kudokumentasikan dalam komputerku, selembar lukisan Monalisa yang harus segera kubingkai, dan setumpuk fax yang menunggu untuk kukirimkan malam ini juga.
Kukira, setelah kuselesaikan semua pekerjaan itu, malam ini aku bisa mendaratkan tubuhku dengan mulus di atas ranjang lalu menikmati kelelahan hari ini sebagai suatu kenikmatan. Tapi mataku tetap terbuka nyalang karena kehilangan selera tidur. Insomniaku kambuh lagi. Kambuh di saat yang tidak tepat. Saat kenangan-kenangan masa lalu membuat rongga dada menjadi sesak. Tersesat ke bilik jantung. Dan terbang liar dengan bebas memenuhi pikiranku.

16 Juli...
Suara halus di seberang memasuki gendang telingaku setelah kuputuskan menerima panggilan Libra yang berkali-kali melalui ponselku.
“Aku sudah menantimu sejak jam empat pagi. Apa kau punya waktu untuk menemuiku hari ini?” tanyamu tanpa ada unsur untuk memaksaku datang meski ku tahu betapa besar harapanmu agar aku mau menemuimu.
“Sekarang masih gerimis. Siapa tau nanti malah tambah deras.” Elakku tanpa basa-basi.
“Oh, jadi kamu nanti nggak bisa datang...” sahutmu lirih yang lebih pantas disebut sebagai keluhan.
Keraguan merayap perlahan dalam otakku. “Jarak rumahku dan stasiun tidak terlalu jauh. Sekitar 15 menit ditempuh dengan kendaraan. Aku pasti datang.” Jawabku mantap tanpa pikir panjang. Entah bagaimana kata-kata itu meluncur begitu saja setelah beberapa detik sebelumnya kuputuskan untuk tidak usah menemuimu.
Keteduhan langit dan udara yang sejuk oleh sisa-sisa hujan, t’lah mengusir titik-titik peluh di leher dan hampir seluruh tubuhku. Aku merasa tertolong oleh redup awan mendung, tapi di sisi lain tubuhku semakin gemetaran saat langkah kakiku semakin mendekati tempatmu menungguku. Terlintas di pikiranku untuk segera angkat kaki berbalik arah dan meninggalkan stasiun yang biasanya selalu membuatku nyaman. Tapi terlambat! Senyummu telah mengisi lensa mataku dan membuat langkah kakiku tetap bergerak ke arahmu. Akupun melihatmu terbebas dari deretan kursi untuk menyambutku.
Aku benar-benar terharu menyaksikan tatapan matamu yang letih karena kerinduan. Tanpa banyak kata terucap, kau selalu menyampaikan perasaan-perasaanmu tanpa pernah bisa menyembunyikannya dengan sempurna.
Hari sudah hampir larut setelah kita habiskan waktu tanpa kita sadari. Kau putuskan untuk pergi dari kota ini, malam ini juga. Tidak ingin membuang waktuku lebih banyak lagi, itu alasanmu.
Kutemani kau mencari tempatmu bersandar di kereta yang akan membawamu pergi. Entah kenapa, kau tersenyum kecut padaku saat kau tahu bahwa jendela kereta yang kau tumpangi itu retak tepat di sisi kirimu.
“Sudah kutemukan tempatku. Kau bisa pulang sekarang. Aku takut kamu kemaleman,” tegurmu halus tanpa ada maksud mengusirku.
“Aku akan pulang, setelah kudengar peringatan kalau kereta akan berangkat,” jawabku singkat.
Untuk beberapa lama, kita berdua terdiam.
“Apakah benar kisah ini t’lah kau jadikan sebuah kenangan?” tanyamu memecah keheningan.
“Apakah pantas kisah kita dikenang, jika kisah itu t’lah memberimu rasa kehilangan?” tanyaku balik.
“Kenangan itu takkan pernah bisa terhapus, Scorpio. Dia akan tetap hidup dalam ingatan kita! Ingatanku, maupun ingatanmu! Aku tak percaya kau t’lah melupakannya!” kali ini kau berbicara dengan nada sedikit meninggi. Aku tahu kau tidak akan memanggil nama panjang seseorang, kecuali kau sudah terlalu payah mengatur emosimu.
“Aku tidak melupakan kenangan itu, Libra! Aku juga tidak berusaha menghapusnya. Jika aku memang menghapus kenangan-kenangan itu, tak mungkin kupendam rinduku akan pulau itu! Elakku.
“Jika bukan menghapus kenangan, lalu kenapa kau tak pernah lagi singgah dan memijakkan kaki disana?”
”Aku menghapus perasaanku, Libra. Perasaanku yang dulu!” ujarku perlahan tapi bagai pisau yang menyayat hatinya.
Andai kau tahu, bukannya aku tak mau memijakkan kakiku lagi dipulau itu, tapi aku takut... Perasaanku di masa lalu muncul kembali,” ujarku lirih.
Di tengah pertengkaran berbisik yang terjadi, suara petugas melalui pengeras suara menyadarkan aku dan Libra bahwa kereta akan segera berangkat.
“Pio...”
“Ya...?” sahutku singkat.
“Tahukah kau? Tak pernah kupedulikan langkahku menempuh jarak sekitar 400 kilometer untuk mengunjungimu tiap akhir minggu. Semua kulakukan demi kerinduanku padamu. Tapi selalu dan selalu saja aku mematung di stasiun ini, tanpa berani memijakkan kaki di depan pintu rumahmu. Dan aku... masih tak percaya akan keputusanmu sore tadi.”
“Libra! Pintu rumahku terbuka untuk siapa saja, termasuk kau!” kataku gamblang.
“Tapi pintu hatimu tak pernah terbuka lagi untukku.”
“Libra, sudahlah! Jangan kau teruskan!” bentakku.
Samar-samar kuamati matamu yang sayu. Entah karena kelelahan atau karena sebab yang lain, dia sandarkan kepalanya pada jendela kereta yang t’lah retak itu. Seperti prajurit kelelahan yang baru pulang dari medan perang raut wajahnya di malam ini.
“Ini... dengarlah saat kereta mulai melaju,” kataku sambil menyodorkan sekeping CD yang kukeluarkan dari discmanku.
Dia mengambil discman itu dari tanganku dan memindahkannya pada discmannya.
“Sengaja kurekam semua isinya dengan lagu yang sama. Kuharap kau mengerti perasaanku. Selamat tinggal, Libra! Kereta sudah mulai bergerak, aku harus pulang.”
“Jangan kau ucapkan selamat tinggal, Pio... aku masih ingin bertemu denganmu lagi suatu saat nanti,” mohon Libra sambil meraih tanganku.
“Hati-hati ya Libra!” ujarku sambil berbalik arah meninggalkannya.
Kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Tak kupedulikan gerimis malam yang lama-lama berubah menjadi deras hujan. Kuputar lagu yang sempat kuberikan pada Libra. Syukurlah kumasih punya dua CD yang sama.
Aku tak tahu kemana lagi harus mencari ketenangan. Tak mungkin aku pulang menyetor wajah kepada Mama Papa dengan mata yang masih sembab. Tanpa sadar kutepikan mobil di bibir pantai yang t’lah kulewati. Jarum-jarum air menempa tubuhku setelah aku keluar dari mobil. Hujan di mataku bersatu bersama hujan yang turun dari langit. Masih terngiang-ngiang lirik lagu milik Jikustik di kepalaku, meski aku yakin kalau suara tape mobil t’lah dikalahkan oleh deras hujan.

Maafkan aku untuk kesekian kali
Kuraih hatimu, dan kupatahkan lagi…
Kuharap kau bisa pahami
Waktu aku… berucap ini…
Jalan hidupmu akan berubah nanti
Dan kita simpan semua kenangan ini…
Kuminta kau jangan menangis
Tegarlah sekuat karang

Dan aku tahu, aku pasti merindukan
Semua hal bodoh yang pernah kita lakukan
Tersenyumlah… redakan aku
Yang merasa bersalah padamu

Ini saatnya, kita harus mengerti
Kereta ini ‘kan membawamu pergi
Dan bila kau sampai di sana
Tak pernah ada lagi… kita…

Kebisuanku di antara hujan, akhirnya berakhir setelah aku dikagetkan oleh getar ponselku. Aku tahu Mama pasti menyuruhku segera pulang. Buru-buru aku masuk mobil untuk mengecek ponselku.

Saat ini... hatiku seperti jendela kereta yang retak saat pertemuan tadi. Tak bisa pecah dengan tuntas. Tetap terperangkap diantara bingkai yang nyaris pecah tapi tak bisa terlepas. Seperti itulah perasaanku padamu. Hatiku terluka tanpa kutemukan obat penawarnya. Ingin menghapus perasaan yang ada, tapi kutahu itu tak semudah yang kukira. Aku akan tetap mencintaimu Pio... meski hatimu tak lagi kau buka untukku, aku akan setia mencintaimu...

Libra... kau membuatku menangis lagi malam ini...

Surabaya, 22092005
Di Terik Siang
Imey



“Jangan tanyakan apa yang telah (kampus) Negeri ini berikan padamu, tapi apa yang telah kamu berikan pada (kampus) Negerimu”.

Kutipan tersebut setidaknya sangat mewakili keadaan kita sebagai warga kampus yang pada pertengahan Januari lalu diwajibkan membayar SPP dan uang SOM (bagi kawan-kawan MABA) sebagai bentuk pemberian kita yang tak bisa di tunda lebih lama lagi untuk kampus tercinta kita.
Tapi, disini mari kita berpikir positif.
Yaah.., sejumlah uang itu mungkin belum seberapa dibanding biaya yang dibutuhkan kampus untuk keparluan kita agar bisa berkuliah layaknya sebuah proses perkuliahan ideal.

Buktinya, yang kita dapatkan disini masih jauh dari apa yang kita harapkan dari sebuah kampus ideal.
Mungkin ada banyak alasan di atas sana, misalnya : biaya administrasi, perawatan dan perbaikan fasilitas, gaji karyawan, dan lain-lainnya yang masih banyak dan tak boleh disebutkan secara transparan di depan kita.

Bukan tak beralasan kalau kita berniat menuntut lebih atas banyaknya masalah yang kita hadapi setiap harinya di lingkungan kampus. Bayangkan saja.., Kita mulai dari masalah fasilitas. Baca buku seadanya di perpustakaan, padahal perpustakaan adalah jujugan pertama saat kita butuh banyak referensi untuk pengayaan materi kuliah. Ruang kelas yang panas, bukan karena tiap kali ada debat atau diskusi tapi karena AC (air conditioner) hanya berfungsi sebagai hiasan dinding, kesulitan cari tempat untuk diskusi masalah kuliah di kampus. Mau buang air di toilet malah air toiletnya yang sering mampet, mungkin karena takut kekeringan di musim kemarau, kita harus membantu menyiram tanaman agar tetap subur. Mau makan di kantin, eh.., malah dapat fasilitas gratis mandi sauna. Belum masalah lainnya, Dosen yang sering datang terlambat setengah jam atau lebih dari jadwal perkuliahan, pada kesempatan lain dosen juga ikut-ikutan mahasiswa bolos. Transkrip nilai bermasalah, bukan dalam kategori alphabet A-E tapi malah T, belum lagi harus mengurus tetek bengek administrasi / birokrasi di BAAKPSI kampus ketintang.

Memang beginilah realita yang kita temukan di kampus lidah wetan, namun pada akhirnya, kita cuma bisa berharap semoga mereka tidak benar-benar tuli, kita kembali mengingat ada pepatah yang mengatakan;
“Jangan tanyakan apa yang telah (kampus) Negeri ini berikan padamu, tapi apa yang telah kamu berikan pada (kampus) Negerimu”.

Jadi konco-koncoku, ..pada intinya,
Belum ada kepastian dari tulisan diatas, tanpa adanya pembenaran sanggahan dan sangkalan dari teman-teman yang membaca, apakah kesimpulan dari tulisan di atas cukup mewakili atau malah tidak sama sekali.
Untuk itu GERILYA mengundang teman-teman untuk membuat opini atas fenomena “ketidakberesan” yang kalian tangkap di kampus kita ini dalam kontes “GERILYA Free Style Writing”. Kirim dalam bentuk tulisan maksimal 1 lembar folio, spasi 1,5, font Courier New ukuran 11. Kumpulkan ke Tim ROCKET, Sastra Indonesia ’04 dan ditunggu sampai edisi GERILYA berikutnya!
Karena ini SERIUS!!! jangan lupa menuliskan nama dan nomor registrasi kalian, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tulisan yang kamu buat, kita mendukungmu kawan.
INGAT!!! 3 Tulisan terbaik akan mendapat imbalan yang pantas.

Gerilya Volume 2


Dari awal sampai akhir...
Pueeeh...jan tenan...!!! Di tengah banyaknya tugas-tugas kuliah yang deadline, tak terasa juga akhirnya kita merampungkan rubrik GERILYA edisi ke-2 ini dengan darah terasa hanya ada di kepala saja. Yang tersisa hanyalah suatu kegembiraan untuk bisa membuat GERILYA tetap exist.

Sebelumnya kita ngucapin selamat Tahun Baru, semoga tahun ini, kita semua dalam keadaan yang tambah ssyyip ae...!!! Tidak lupa kita pengen menyapa temen-temen yang sempet ngebaca GERILYA edisi lalu. Sepurane pren!!! Jika kalian tersinggung dengan tulisan kita. Jangan kapok wah!!! Dan kita pengen berterima kasih ama semua pihak yang telah membantu dalam nongolnya edisi kali ini. Entah itu suatu prolog cacian atau pujian ama kita yang diutarakan temen-temen, ‘cuz kita sendiri pun belum mendapatkan respon secara konkrit dari temen-temen yang melihat, membaca, lalu mungkin hanya menyimpannya di tumpukan koran bekas di bagian tersudut di ruang kos-kosan kalian.

Nggak ada sesuatu yang baru pada eidsi ke-2 ini. Tapi yang jelas, kita hanya pengen mempunyai suatu kegiatan yang pasti selain ngopi dan grudak-gruduk riwa-riwi ke sana kemari buat mengisi hari-hari kosong kita aja. Nggak ada salahnya kita membuat tulisan yang zuper kacau ini. Toh, kalian juga nggak berhak ngelarang kita mau nulis apa!!!

Mungkin juga tampilan lay out yang kita coba untuk sebeda mungkin dengan rubrik yang duluan lahir sebelum GERILYA dibuat. Dan tidak menutup kemungkinan tampilan lay out kita yang akan dilihat sama dalam sekilas, tetapi...yo weslah. Toh, orang yang nggak mau meniru, nggak akan pernah menghasilkan apa-apa!!! Kita cuman pengen menyajikan semua inspirasi dan aspirasi dalam otak kita.

Yang jelas nikmatin aja, baca, lihat, bajak, simpan, dan jual kalo’ udah banyak!!! Atsem i...
Selamat membaca ‘n melihat-lihat halaman ini!
C yaa...


Peloek Tjioem
dari kami

Tim ROCKET



*GERILYA*

Sebuah kata tak harus terucap
Dalam bingkai bibir merahmu
Ketika sindiran menghiasi selalu
Aku tak segan merubah sikapku

Derita yang temanku alami
Engkau bagai petir yang menyambar
disiang hari. Selagi masih ada lintasan
Aku tak takut untuk terus berjalan.

Kini aku hadir kembali
Membawakan kisah-kisah yang penuh
Keresahan, kebencian, dan perasaan hati
Namun aku...
Ga cabul lagi!
Upil ‘04


Realita Cinta
Rudal dan Rocket

Inginku kembali layaknya elang
Merentangkan sayap-sayap yang telah hilang
Ketika hati tak lagi menyatu
Mungkinkah secangkir kopi beserta ramuanmu
Kan menjadi teman setia selalu?

Upil ‘04

Taman Hati

Taman hatiku hancur sudah
Bunga yang dulu bersemi
Kini gugur tak mewangi
Tak lagi memancar keindahan
Kicauan burung tak lagi kudengar
Karna taman hati kan kembali bersemi mewangi
Dan kicauan burung di pagi hari

051205
Nyam-nyam SKATERz



Broken

Cinta yang kubanggakan
Kini tinggal kenangan
Belaian kasih sayang
Tiada lagi menemani
Yang ada hanyalah
Kesepian hati yang mendalam
Goresan luka itu membekas di hati

Nyam-nyam SKATERz



Sementara...!!

Maka aku akan menjawab ini hanya bekas luka
Lalu aku bertanya kepadamu
Apa yang telah begitu membebani pundakmu
Dan seperti yang telah kuduga
Bekas luka juga

Sudahkah kau bertemu dia?
Dia di sana, berdiri tegak menyapa Sang Pagi
Senantiasa menantimu, sendiri...

Ahh...
Tentu saja, aku tahu ini bukan janji
Tapi coba, adakah tawaran yang lebih menggoda?

...sembuh
...hidup
...emas
...hidup!!

Yah...!! suatu hari
untuk sementara.
Lee hay
Biografi Topi, Kursi, dan Koran

Menemui topi, kursi, dan koran yang hilang
bersama daun-daun jalang. Dongeng mulai
Runtuh ditubruk kenangan
Tiba-tiba hutan menjadi garis basah
dengan jejak-jejak hilang di tengah
rambut yang ditumbuhi belukar
Tak kutemu kabar,
Kehadiran puisi tanpa arah!
(2005-2006)
Dody Kriswaluyo



Klejingan

Bingung
Bingung
Bingung
Bingung
tetap duduk diam dan termenung
Bingung
Bingung
Bingung
Lari ke gunung masih tetap bingung
Bingung
Bingung
resahku makin dalam sampai tulang sumsum
menebar harum untuk kau cium

Da’an



Requiem Desember

Melesat di kedalaman halimun
Kabut pecah, menoreh cambukan
Alang-alang di helai rambutmu
Pengetahuanku runtuh.

Bersiadu langgam burung-burung
Penampakan liar menggantag
Seribu skizofernia mencubit lenganku

Tlah kulepas kupu-kupu mengitari
Jazirah wajahmu. Tapi tubuhku bengkarak
Menghisap lenguh sajak. Kegairahan
Hujan menumpuk bayangan kata telanjang

“Ode bunga mekar melukis
keremajaan di matamu”

Desember 2006
Dody Kriswaluyo
Jutulan

Lelehkan jiwa ini dalam sloki
dengan wewangian anggur surga
yang ditawarkan lewat mantra-mantra
Cupu manik astagina

Da’an



Laron-laron Patah

Laron berjingkrak
temani bekakrakan
Sayap mengepak
tak karuan

Terbangi takbir malam
Menari duet: Tuhan dan Laron
Melayang tanpa padam
Merintih dalam obor-obor kehidupan

Dataran penuh sayap
Berantakan merayap

Sayap hancur
Namun tak berserpih
Mereka masih
menemani sambil gugur.

Darjo, 30 Des ‘06
relleT

?...?

Inginku ke hatimu dengan menyusup.
Lagipula aku tetap dalam keraguan yang haru.
Megap-megap hingga mataku tak bernafas.
Insan ini takut jiwamu lenyap.
Eluslah ragaku yang tak peduli raga.

18 des ‘06
relleT


Aku Pulang

Laki-laki...
Di tengah hujan dan malam yang sepi
Tuliskan sajak sedih kerinduan hati
Tentang dia, yang selalu hadir bersama angin
Lalu menghilang bagai asap, menguap, lenyap.

Kutahu, itu semua tak seperti biasa
Kala kutulis irama sumbang mimpi-mimpiku

Karena kau ada...
Selalu saja ada...
Di sana...
Saat kubersama pena dan kertasku
Mencoba goreskan getaran jiwa kecilku

Saat terdiam...hhh...kusadari
Sesaat lagi ‘ku pergi
Mungkin sementara...atau...selamanya...
Entahlah...
Tapi...’ku kan selalu pulang
Empat waktu dalam satu purnama
Dan tanyakan padamu...pada hatimu
Masihkah lukisan itu di dinding jiwamu
Lukisan semu, menyerupai wajahku
Ku kan selalu pulang...aku pulang!

Kota Santri, Akhir Tahun
Madhany

Tuhan Terlambat

Sahabat...harusnya kau di sini, bersamaku
Dan jadikan diri sebagai saksi
Dari kisah langit yang terbelenggu
Oleh buai tangisan si bayi
Bayi itu...
Menempa hari tiada henti
Lalui badai ‘tuk coba menggapai
Harapan hati dan secuil roti
Bayi itu...
Tiada lagi yang coba memeluk
Meski meronta kala terpuruk
Hingga menggelepar...mati...membusuk
Ku memaku, coba bertahan
Di manakah Tuhan?
Yang penuh rasa kasihan
Sedang kini...tiada lagi keadilan

Sahabat...
Jangan dulu kau bertobat
Tunggu saja saat kita hendak sekarat
Karena tak akan lagi kaulihat
Bayi-bayi itu berubah jadi mayat

Peluk saja nyawamu erat-erat
Tuhan dan keadilan, akan datang terlambat.

Kota Santri, Akhir Tahun
Madhany




Cerpen
Sayap-Sayap Pemberontak

Langit masih kemerahan. Matahari belum sepenuhnya menampakkan dirinya. Aku terbang dengan delapan pasang sayap yang melekat ditubuhku. Hangat sinar mentari begitu terasa di sekujur tubuhku, ditambah lagi udara pagi yang menyegarkan. Pagi ini terasa sangat berbeda dengan pagi-pagi yang tlah kulalui. Sayap-sayapku yang agak basah oleh embun semalam juga mulai mengering. Sayap-sayap yang bebas membawaku terbang ke mana mereka suka, karena aku tidak mau membatasi kebebasan sayapku.
Cuaca cerah. Dihadapanku terlihat sekelompok burung yang berkejar-kejaran dan bernyanyi di bawah gerombolan awan putih yang hampir terlihat menutupi birunya langit. Burung-burung itu selalu terbang dengan santai dan membiarkan tubuhnya terontang-anting oleh angin yang bertiup pelan. Aku mencoba mendahuluinya.
“Hei burung, apa kau tidak bisa terbang lebih tinggi dan lebih cepat lagi?”
“Tidak. Aku takut melewati awan yang bergerombol, dan bisa-bisa aku menabrak gunung yang tinggi itu!”
“Atau mungkin sayapmu tidak mungkin melakukannya?”
“Biar saja aku seperti ini, menjalani hidupku dan menikmatinya.”
“Apa kau sadar kalau kau bisa tertangkap oleh pencari burung dan para pemburu yang terus mengintaimu dari bawah? Percuma saja kau jadi burung jika tak kau gunakan sayapmu. Kenapa kau tidak jadi layang-layang saja? Yang selalu pasrah dengan angin yang meniupnya!”
Dengan cepat aku terbang meninggalkan burung yang masih menatapku dengan pandangan mata yang sinis. Sepertinya burung-burung itu sangat marah kepadaku. Aku heran, kenapa burung itu tidak mau terbang secepat aku. Apa mungkin mereka tidak bisa menandingi sayap-sayapku yang kuat dan kompak saat terbang. Padahal dengan begini aku dapat merasakan seberapa kuat sayap-sayapku melawan angin yang bertiup kencang. Tapi mungkin juga burung-burung itu takut bulunya yang indah dan berwarna-warni yang melekat di tubuhnya berantakan dan kusut jika terbang secepat aku. Mereka pasti akan malu dengan rupa aslinya, tanpa bulu bulu yang membuatnya terlihat cantik dan mempesona.
Delapan sayapku membuat aku terbang semakin cepat. Aku melesat secepat kilat di langit yang luas, memecah awan putih yang bergerombol di depanku. Tiba-tiba terdengar teriakan seorang gadis kecil dari bawah.
“Apa yang kau lakukan? Kau tealh merusak awan itu!”
“Memangnya kenapa gadis kecil? Apa awan-awan itu milik nenek moyangmu?”
“Aku sedang menggambar awan-awan itu, dan sekarang kau telah menghancurkan semuanya!” lalu gadis kecil itu menangis.
Aku terdiam dan baru menyadari apa yang telah kulakukan. Sayap-sayapku juga terdiam dan tertunduk haru. Sementara orang-orang mulai berkumpul dan ingin menghakimi aku.
“Dasar gila! Sebenarnya apa maumu?” kata Ibu gadis kecil itu sambil melempari aku dengan batu-batu kecil.
“Dasar aneh! Kau hanya bisa menggangu orang saja,” kata kakaknya.
‘Keterlaluan kau!” sahut temannya dengan penuh emosi.
Dan teriakan orang-orang yang hampir bersamaan kepadaku “atsem i...”
Aku terbang merendah dan menghampiri gadis kecil yang masih memegang pensil di tangannya.
“Aku tidak tahu kalau kau sedang menggambar awan itu. Sudahlah, jangan menangis. Besok pagi kau lihat saja awan-awan di langit dan kau bisa menggambarnya lagi.”
Teriakan orang-orang semakin membuatku jengkel. Orang-orang yang hanya bisa bicara dan hanya bisa mencelaku serta mereka merasa paling waras.
“Bisa tidak kau menghentikan ulahmu yang meresahkan ini?” kata seorang dari mereka.
“Maaf. Kau tidak bisa mengurung kebebasanku. Aku adalah aku dan aku bebas berbuat apa saja! Apa kau iri kepadaku? Apa kau ingin terbang seperti aku?”
Lalu aku terbang lagi dan meninggalkan orang-orang yang hanya
menatapku tanpa senyum dan sepatah kata pun. Tatapan itu seperti tatapan mata burung-burung yang dendam kepadaku pagi tadi. Hari semakin siang. Udara bertambah panas. Sinar matahari juga terasa semakin menyengat kulit. Aku masih terbang berputar-putar di angkasa, melihat burung-burung menyusup di antara pohon-pohon yang rindang dan mencari ranting pohon yang kuat untuk bertengger. Orang-orang berlarian mencari rumah yang megah untuk berteduh. Di jembatan juga banyak orang tidur-tiduran melepas lelah. Tapi seringkali orang-orang itu tertidur sampai esok pagi. Tapi aku senang berada di atas sini, di langit yang luas tanpa batas. Karena panas yang kurasakan ini sama dengan kepanasan di dalam hatiku yang meluap-luap, jadi aku bisa memuntahkan isi hatiku sewaktu-waktu seperti lahar panas yang muntah dari gunung berapi. Mungkin ini yang membuat ucapanku selalu panas didengar.
Matahari semakin condong, cahaya keemasan itu mulai tenggelam di balik bukit. Langit yang biru pun berubah menjadi gelap. Malam datang, tapi tidak bersama pasangannya, sang bulan. Ceceran bintang juga tak terlihat di sini. Di bawah langit yang gelap ini aku masih terbang dan aku bingung menentukan arahku. Semuanya gelap. Tak ada yang bisa kulihat. Sampai akhirnya terdengar kicau burung-burung dan teriakan orang-orang yang sedang menyapa-Nya.
Tak lama, sinar itu muncul lagi dan aku bisa melihat jalan yang akan kulalui. Saat aku mulai terbang lagi, tiba-tiba delapan pasang sayapku terasa aneh. Rasanya sangat berat. Pagi ini aku terbang sangat lambat. Sekelompok burung mendahuluiku denga tersenyum lebar. Mereka pasti senang melihatku seperti ini. Di bawah sana orang-orang juga menatapku dan tertawa kegirangan saat sayap-sayapku mulai lepas dari tubuhku. Aku semakin jatuh meninggalkan sayap-sayapku yang masih melayang-layang tertiup angin. Mungkin sayap-sayapku sudah bosan dengan semua ini.
“Akhirnya kau jatuh juga. Tanpa sayap-sayap yang selalu kau banggakan itu kini kau akan hancur!” kata orang-orang yang bersorak-sorai menyambutku di bawah.
“Ya, aku akan hancur jadi debu yang tidak akan terus hidup, meski hanya dalam cerita dongeng yang kalian ceritakan pada anak dan cucumu kelak.”

Gondez



Cerpen
Wajah Cermin

Gue heran, selama 2 tahun, 2 bulan, 1 hari, kami menjalani persahabatan gak pernah sekalipun terlintas di kepala gue tentang perpecahan ini. Perpecahan yang gak gue inginkan. Tetapi, gak tahu dengan mereka, sohib-sohibku, yang selama ini hidup sekandang dengan gue yang selalu setia menemani gue. Ini dikarenakan mahalnya biaya hidup di Hollywood, sehingga beragam cara pengiritan kami lakukan mulai dari masak sendiri hingga merokok pun kami joinan. Sebenarnya gue sudah bete hidup dengan para anjing yang selalu munafik dan kerapkali menggigit rambut bokong gue.
Awalnya gue berdiri di depan sohib-sohib gue seolah gue adalah Katsumoto yang memimpin pasukan berkuda dalam film The Last Samurai. Tapi itu bukanlah akhir, itu hanya sebuah permulaan.

Ini realita!!!

* * *

Siang. Gosok gigi. Mandi. Sekolah. Sekolah kok siang? Tanya kenapa??? Oh ya, gue kan skul di Old School Hollywood, so, bisa masuk seenak udel gue. Tak jarang pelatih, pengajar, petinggi, pejabat, atau tetek bengek yang lain gue sanggah, lawan, atau pun membentaknya. Negara liberal demokratis men! Be yourself! Elo-elo bakal rugi kalo gak kayak gue. Namun, sohib-sohib gue gak ada yang meniru tingkah kayak gitu. Rruugi... Tapi gue gak maksa. Skul hari ini cukup boring dan bete abis! Tahu gak sech, mata teori menangkap piringan malah diceramahi tentang tips mencari perlindungan. Akhirnya selama skul gue enak tiduran dan tertidur di atas bangku marmer mewah skul gue.
Pagi terik memancar. Skul gue lancar, skul kemarin maksudnya. Seperti biasa, gue berangkat nelat hari ini. Dan hari-hari berikutnya. Sebagian mata di skul memandang gue buas dan liar. Sebagian mata memandang gue pemberani. Sebagian mata lagi memandang gue berprestasi. Sebagian mata yang lain memandang gue pemimpin. Padahal sebenarnya gue itu rokok makan gratis.
Istirahat memanggil. Mata teori selesai. Tetapi gue tetap tergeletak di atas bangku. Salah satu sohib gue menegurku untuk bangun. Padahal gue udah terbangun. Ketika aku keluar kotak, para sohibku udah hilang ditelan mendung siang. Hhh...ya weslah... Restoran skul gue tuju. Uhh, rame banget! Makin banyak makhluk-makhluk aneh yang mendaftar di skul ini. Kelihatannya makhluk kaya naik rating, berbeda dengan makhluk miskin yang dulu selalu menjadi top of the month. Setelah gue masuk restoran dan melihat sekeliling, tak kutemui batang hidung sohib-sohibku. Ujung-ujungnya, gue lunch dengan boneka gue yang selalu setia menemani di mana gue berada dan kapan pun. Ia bertanya ke mana para sohibku, gue jawab aja gue gak tahu ‘n ora ngurus.
Ora ngurus. Akhir-akhir ini, anjing-anjing lalu lalang acuh tak acuh bagai dua mawar yang pengen datang ke KUA untuk menyelesaikan urusan mereka.

* * *

Saat anjing-anjing itu bermain dan berlarian, meninggalkanku di belakang, di dataran tandus, diselimuti kedinginan yang hanya ditemani rembulan merah, aku bergelut.
“Mungkinkah gue akan mengejarnya?”
“Ya! Iya! Gue akan mengejar anjing-anjing itu!”
“Lalu buat apa gue mengejarnya?”
“Buat mengetahui kenapa mereka kabur!”
“Nggak! Gue nggak akan mengejar mereka, karena gue emang nggak ngerasa kehilangan mereka!”
Dataran tandus menghembus debu. Cermin terpaku di depan gue yang bermandikan keringat. Gue tetap bercermin dengan pandangan jauh menembus ragaku. Cermin itu bergeming tak menunjukkan keistimewaannya. Nggak gue lihat apa yang gue cari dalam cermin itu. cermin yang memantulkan benda-benda dan suasana dengan jelas, namun bayangan gue absurd. Body gue nggak berbentuk. Samar.

Cermin...
Cermin...
Cermin...
Cermin...
Cermin...

Alis gue mengernyit dan mata gue masih mengejar-ngejar pikiran yang kencang melayang jauh. Akh, boring gue, bercermin melulu. Heran. Sedih. Menyenangkan. Bangga.
Gue melemparkan cermin itu ke sudut kandang hingga hancur berkeping lalu menjadi serpih yang tak lagi memantulkan bayangan gue. Termenung menatap langit-langit kandang ditemani detak waktu yang berkejaran lambat. Gue nggak tahu sampai kapan dataran itu akan menghijau lagi, dengan anjing-anjing yang berlarian dan bermain di sana. Gue akan menunggu bersama penderitaan yang terdalam yang selama ini menindih gue terus menerus.
Sesaat gue mendengar kilatan suara lirih yang tak asing buat kuping gue. Keras. Dan semakin keras, semakin memekakkan kuping gue.
“Aku cari ke mana-mana, di situkah rupanya engkau.”
“Gue emang nggak ke mana-mana. Dan nggak pernah akan ke mana-mana. Gue tetap di sini. Gue tetap pada watak gue.”

01.06
Kamar Kulon
Trio Nglejing




Lirik Lagu
By: Rage Against Tha Machine

FREEDOM

Solo, I’m a soloist on a solo list
All live, never on floopy disk
Inks, inks, bottle of ink
Paintings of rebellion
Drawn up by the thoughts I think

It’set up like a deck of cards
They’re sending us to early graves
For all the diamonds
They’ll use a pair of clubs to beat the spades
With poetry I paint the picture that hit
More like the mural that fit
Don’t turn away
Get in front of it

Chorus:
Brotha did ya forget ya name
Did ya lose it on the wall
Playin’ tic-tac-toe

Yo, check the diagonal
Three brothers gone
Come on

Doesn’t that make it three in a row
YOUR ANGER IS A GIFT

Chorus:
Sista did ya forget ya name
Did ya lose it on the wall
Playin’ tic-tac-toe

Yo, check the diagonal
Three brothers gone
Come on
Doesn’t that make it three in a row
YOUR ANGER IS A GIFT

Yo, check the diagonal
Three million gone
Come on
‘Cause ya know they’re counting backwards to zero

Environment
The environment exceeding on the level
Of our unconsciousness
For example
What does the billboard say
Come and play, come and play
Forget about the movement
YOUR ANGER IS A GIFT

FREEDOM, FREEDOM, yea right!





MASIH BELUM CUKUPKAH SAKUMU??? HAI, ENGKAU YANG SENANTIASA MENGERUK UANG SEBANYAK-BANYAKNYA DI SETIAP TAHUN AJARAN BARU TANPA MEMIKIRKAN BAGAIMANA CARA MENDIDIK YANG BAIK. PIKIRKANLAH MEREKA YANG TERTINGGAL, PIKIRKANLAH MEREKA YANG TIDAK MAMPU, PIKIRKANLAH MEREKA YANG “DROP OUT”. JANGAN HANYA MEMIKIRKAN PERUTMU SENDIRI!!! APA INDONESIA HANYA MILIK ORANG-ORANG KAYA??? PIKIRKANLAH!!!

PUNYA KARYA INDEPENDENT???
AYO IKUT “BERJUANG” DALAM GERILYA!!!

Gerilya Volume 1

Berjuang Independen



Edisi Perdana:
Halo Cah-cah Klejingan!!

Kumpulan Puisi
Cerpen
Grafitti
Lirik lagu


Halo cah-cah *Klejingan!!

Yo weslah, puji sukur atas berhasilnya rubrik Gerilya ini muncul di tengah masyarakat kampus UNESA yang melahirkan kami sebagai orang buangan. Kedatangan kami bermaksud baik, yaitu 1. Turut serta mencerdaskan kehidupan Bangsa; 2. Turut serta menjaga perdamaian dunia; 3. Serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Jurusan Sastra Indonesia. Selain itu, sebagai komunitas yang juga klejingan, kami mencoba menawarkan beberapa produk kami yang teracuh dari rubrik-rubrik lain yang peredarannya mengikuti minat pasar.
Maksud keberadaan kami adalah sebagai bandingan atas adanya rubrik populer yang menurut kami merupakan produk dari mahasiswa struktural tetapi sok mahasiswa, padahal memang iya, mereka adalah mahasiswa (alah, iki opo to yoo??). Semoga karya sastra terus dipandang sebagai karya sastra. Bukankah seni untuk seni akan lebih indah dan berfaedah daripada seni dibuang di kamar mandi, koyok oyo ilo rek!
Kritik dan saran, kami lumayan butuh se.. ‘Cuz kami tidak main-main! Tetapi, sebenarnya juga dalam rangka main-main jadi sebaiknya anda juga ikut main-main. berharap agar keberadaan kami bisa terus merocket, doain kami ya!?! Yo weslah, pokoknya intinya begitu.
Oh yo.. telakhir-telakhire untuk temen-temen Tim Rocket dan semua pihak yang telah membantu serta menginspirasi, kami ucapkan suwon-suwon!!

*orang yang merasa dipermalukan



Alirkan Kata Itu!!

Bayangkanlah
Selalu bayangkan
Nafasku akan terhenti
Di hari esok
Sebab dengan begitu
Kata maafmu...
Akan selalu ada untukku.

26 September 2006
Dwi Pa


Tikus dan Kucing

Jika...
Tuhan menjadikanmu kucing
atas semua dosamu padaku
Maka aku...
Memohon agar dijadikan-Nya tikus
Dimana aku selalu berada dalam ketakutan
akanmu
Selalu kau buru
Selalu kau bunuh
Lalu kau makan
Aku senang atas semua ini
Setidaknya
aku telah membuatmu tetap hidup.
Tapi...
Aku akan menjadi dagingmu
menjadi darahmu
Dan akan tinggal di hatimu
Selamanya.

Dwi Pa


Saudaraku

Ketika waktu mengurai
terbungkalai wangi bunga surga
Senyum-senyum kering
suara surau
Pikiran-pikiran keji kan slalu meracuni
aku hati.
Rayuan mata tanpa tanya
sekilas menggoda
Saat kau
Mati rasa tanpa cahaya,
dikelilingi kobaran api neraka.

Da’an


Racun

Aku-lah
kumpulan darah yang tercecer
yang membius sunyi
dari rasa sepi.

Da’an


Candu:

Wanita itu seperti wewangian anggur surga yang memabukkan
dan akulah yang kan slalu meminumnya
segelas demi segelas untuk tetap hidup.
Da’an



Kau saja



Dalam detik penantianku
Dalam lautan kelabuku
Berlutut aku memohon dalam doa
Bantu aku menemukan ujung gelap dari
hariku yang telah sekarat ini

Maukah kau menerangi jalanku

Pria adalah peluru
Dari waktu ke waktu dialah si perkasa
Aku mungkin adalah dia, aku terus mencoba
Dan dari sini pula ternyata aku masih tetap, butuh, menunggu, dan menunggu jawabanmu
Kali ini aku takkan segan untuk mengatakan aku butuh kau hari ini

Maukah kau menerangi jalanku

Saat aku tersesat, lelah dan putus asa
Ketika jalan pikiranku tak lagi lurus
Atau ketika ternyata pria bukanlah peluru
Maukah kau menerangi jalanku?!!!


‘06
Lee Hay


Lachrymose

Anu
Mata pisau yang menggorok kulit leherku
Gigi gunting yang memutuskan urat nadiku
Jarum jahit yang menusuk pupilku
Hingga darah menenggelami jasadku entah kutahu
Air mata darah gelap tak kusadar leleh tanpa waktu.
Anu
Tidak!. Bukan!!. Anu!!!
Melainkan kau
Who until the end of time captivate me through
Hilang diuntal halimun sendu.

Kota Lumpur, 27 November 2006
relleT




Mmm…

Tahukah kau gadis bertindik lidah asal kota hujan bila seorang lelaki yang mencintai dengan tulus ikhlas sangat amat akan memberi apa pun yang kau pinta hingga ajal menjemput Tuhan memanggil?

Kota Udang, 26 November 2006
relleT


SI EHM

“Hwaa…ada Si Ehm!!! Bahaya!” zednoG berteriak sebagai sinyal para temannya. Ia memakai jeans biru dan sweater NY yang baru ia beli dengan relleT. Temannya yang lain pun ikut berhenti berjalan menuruni tangga.
“Mana wah??!” tanya relleT sambil ta-ngannya memegang tas ransel hitam zednoG.
“Opo yo eneeeng...” knuduD menyahut meri-ngis sambil membenarkan posisi tas ranselnya yang besar.
Keadaan aman. Mereka sangat menghindar bertemu dengan Si Ehm. Padahal ia teman sekelas yang selalu bertemu diwaktu kuliah. Ia perempuan yang tidak tahu menahu tentang permasalahan itu. Humor hujatan yang secara tidak langsung mereka bicarakan. Lelucon pergunjingan. Mereka seringkali mengatakan botak Si Ehm di bagian belakang kepalanya yang berkilau. Kelihatannya sih begitu kenyataannya. Jika di situ ada Si Ehm, maka mereka akan menghindar secepat dan selihai mungkin agar tidak diajak mengobrol. Bertemu saja mereka enggan, apalagi mengobrol. Pada awal semester pertama hubungan mereka dengan Si Ehm berjalan dengan biasa layaknya teman yang lain. Namun sejak Si Ehm putus berpacaran dengan ogniS―teman akrab mereka tetapi tidak sekelas, hubungan mereka berubah seratus delapan puluh derajat. Memang Si Ehm anak yang agak bermasalah, begitu kata Ayahnya. Ia sempat ingin bunuh diri ketika hendak diputus dengan ogniS. Tetapi itu hanya rekaan Si Ehm. Ia juga sering berpura-pura pingsan. Tingkah dan perilakunya sangat ingin diperhatikan semua orang. Caper alias cari perhatian.
Meski mereka tidak berada di kampus pun, mempergunjingkan Si Ehm merupakan kegiatan yang mutlak dilakukan tanpa perasaan memaksa diri. Kata-kata tertentu dari lirik lagu yang mereka nyanyikan pasti diganti dengan nama Si Ehm. Dan sewaktu-waktu jika salah satu dari mereka kurang waspada dan tidak cekatan, ponselnya celaka. Bisa juga harga diri taruhannya. Mereka akan mengirim SMS misterius ke ponsel Si Ehm tentang perkataan indah dan sayang yang sangat tidak mereka harapkan tanpa sepengetahuan pemilik ponsel tersebut hingga akhirnya si pemilik marah besar saat menge-tahui SMS itu terkirim. Berpapasan di jalan dengan Si Ehm pasti mereka memutar arah atau berpura-pura tidak kenal jika mereka tidak sempat berbalik arah. Padahal Si Ehm kerapkali menyapa mereka. Perawakannya biasa, tidak modis dan stylish. Di kelas, tak jarang mereka membicarakan Si Ehm. Tentang botak-nya terutama. Banyak kalangan, dosen, bahkan teman sekampung mereka sudah mengetahui pergunjingan mereka, lelucon tentang Si Ehm mereka, kekonyolan mereka. Teman perempuan mereka yang lain sangat heran dengan hal itu.
“Salah dia apa sich ama kalian??”
hitaR kerapkali bertanya jika mereka ngopi bersama di Bu Dangu. Mereka hanya tersenyum yang mungkin juga tidak pernah tahu jawabannya.
* * *
Mereka tiba di depan perpustakaan. Kongkow. Menunggu yang lain. kibmayN dan ludnuG nongol.
“Wes masuk ta?” tanya ludnuG sambil mena-tap layar ponsel di tangannya.
Tidak ada lima detik dosen mereka tiba dan langsung membuka pintu kemudian masuk perpustakaan tanpa menyapa mereka. relleT dan zednoG mematikan rokok mereka yang tinggal setengah.
“Oi..!!”
zednoG menepuk-nepuk sweater Yankees relleT yang kesenggol api rokoknya.
“Untung gak bolong.”
relleT memasukkan kotak Marlboro Lights ke saku sweater zednoG.
“nowilC dan yillodN mana loh?” tihsoR bertanya ke relleT.
“Ketelesut kali.”
Mereka ikut masuk, menyopot sepatu dan tas. Teman yang lain sudah duduk manis di depan dosen. ludnuG hampir duduk.
“Arogan!!”
Ia mengomentari dosen yang tiap mengajar berpakaian hitam itu. Mereka menjulukinya Mister Black. Si Ehm duduk di pojok, tempat biasanya mereka berenam lewati. zednoG berhenti berjalan tepat di belakang Si Ehm.
“Diammput!!! Aku terjebak!”
knuduD protes dengan suara lirih ke zednoG. tihsoR juga terjebak namun ia tetap sebiasa mungkin. Dekat sekali jarak mereka dengan Si Ehm. Setelah lima belas menit Mister Black mengoceh, nowilC dan yillodN masuk perpustakaan. nowilC meringis-meringis. yillodN memberi map absen ke Mister Blek.
“Sudah jam berapa ini?” kata Mister Black berat dan datar.
“Maap Pak.”
Mereka melewati Si Ehm lalu duduk paling belakang setelah melihat tihsoR, relleT, zednoG, kibmayN, dan knuduD ada di situ. Mata kuliah yang membosankan. nowilC tertidur sebentar ketika mata kuliah berlangsung. relleT dan zednoG cuman klangopan. Sementara knuduD dari tadi berbicara “…nonton tv lagi yuuk..!” sambil matanya melirik ke initagN. Ia meniru kalimat di papan untuk melihat payudara iniyagN. Ia mamakai pakaian putih ketat dan agak tembus pandang.
“Busseet..!!” relleT menyahut.
Ia tidak klangopan lagi. Situasi gaduh sebentar. Tetapi hanya relleT, knuduD, ludnuG, tihsoR, kibmayN, zednoG, nowilC, dan yillodN yang tahu peristiwa ini. Mereka menyebut dirinya sendiri Tim Rocket. Dulu sempat ada Tim Rudal yang beranggotakan yillodN, tihsoR, dan knuduD. Tetapi namanya memudar dan mereka bingung, join dengan Tim Rocket atau tidak. Suasana tenang. Hanya suara berat Mister Black yang terdengar di perpustakaan kecil itu.
* * *
“Huaduuhh.., aku gak tahan..!” knuduD menarik nafas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Mata kuliah berakhir.
“Gorro-gorro kamu aku gak konsen, malah ikutan ‘nonton tv lagi’ nda..!!!” kibmayN berkomentar ketika mata kuliah usai.
“Ayo nda, cepetan!!!! Entar ada Si Ehm..”
relleT mengambil tas dan menyangking sepatunya, lalu keluar. Mereka semua kongkow lagi di depan perpustakaan. Mereka bercerita tentang keindahan payudara initagN terus-menerus sampai dia terlihat keluar. Mereka diam. Mata mereka tertuju padanya.
“Hhghh...eeek...,” kibmayN berdeham.
Tiga detik kemudian Si Ehm keluar. Mereka kembali bungkam. Mereka menggosip terus. Apa hanya cewek saja yang suka bergosip ria?
“Wes ta, tit ta??” relleT mengisyaratkan untuk pulang.
“Busseeet...!!”
knuduD kaget melihat ada Si Ehm masih ngobrol dengan isuL di depan pintu jurusan.
“Wuadduh!!”
relleT langsung mundur dan kembali duduk di depan perpustakaan.
“Diammput!! Duduk lagi...” kata zednoG yang ikut duduk di sebelahnya.
Mereka berpikir cara untuk pulang. Pintu fakultas itu merupakan jalan keluar satu-satunya. Akhirnya ludnuG merayap menjauh dan merambat naik ke tengah tangga. Ia membaca pengumuman di papan. Mungkin ia berpura-pura. Mungkin juga tidak. Yang lain masih duduk. Bengong. Dan Si Ehm datang menghampiri mereka dengan senyuman.
* * *
“tihsoR, gimana ama tugas kelompok kita?”
Mereka nggrogi. knuduD dan kibmayN bermain kunci kontak. Lempar ke knuduD, lempar lagi ke kibmayN. zednoG melihat-lihat atas. Pura-pura tidak tahu. relleT juga meniru sambil mesam-mesem dan bersiul-siul. tihsoR menjawab dengan lancar.
“Oo..tanya aja ama ludnuG...” jarinya menunjuk ludnuG yang asyik membaca pengumuman di papan tangga.
“ludnuG, tugas kelompok kita gimana?”
Si Ehm bertanya dengan wajah mendongak. ludnuG mundur selangkah menaiki anak tangga. Kejadian ini sangat langka bagi mereka. Yang tidak diinginkan oleh korban Si Ehm, yaitu orang yang diajak ngobrol olehnya. Ia tegang. Wajahnya pucat pasi. Jeritan tawa teman-temannya terdengar halus di telinganya. Ia menoleh sebentar ke arah mereka.
“Ehh..itu..masih dibawa acsiS..” jawabnya.
“Ya udah, makasih ya..”
Ia mengernyitkan dahi. Si Ehm terlihat curiga. Ada yang ganjil dengan para temannya itu. Lalu ia pergi. ludnuG berlari menaiki anak tangga. Si Ehm sudah keluar dari pintu. Aman. ludnuG berlari turun dan menghampiri mereka yang masih tertawa-tawa dan menyebut nama Si Ehm berulang kali.
“Dammmpuuut…!! Mayaak…!!!”

ludnuG menjerit ke arah mereka yang makin keras tawanya. Ia menindih dan menggepuk-gepuk tak karuan ke arah mereka.
Mereka tidak pernah tahu kapan untuk berhenti mempergunjingkan, ngrasani, meng-hina, dan menghujat Si Ehm. Selalu hidup dalam kecemasan dan kegelisahan...


Kota Petis, 2 Des ‘06
relleT


KORN’s lyric
“Faget”

HIV!

Here I am different in this normal world
Why did you tease me? Made me feel absurd
Fucking stereotypes feeding their heads
I am ugly. Please just go away

HIV!
I can see it's hard to find
This blessing in disguise
HIV!
Why do you treat me this way?
Made the hate stay (Made the hurt stay)

I sound like I can never seem to escape
all the laughing, all the pain
If you were me, what would you do?
Nothing, probaly. You'd just throw me away

Faget!

I'm just a pretty boy, whatever you call it
You wouldn't know a real man if you saw it
It keeps going on day after day, son
you fake, if we don't want none
I'm sick and tired of people treating me this way everyday
Who gives a fuck?!
Right now I got something to say to all the people that think
I'm strange and I should be out here locked up in a cage
You don't know what the hell is up now anyway
You got this pretty-boy feeling
like I'm enslaved to a world that never
appreciated shit

YOU CAN SUCK MY DICK AND FUCKING LIKE IT!!!

He had my gun but he had a body mighty, anysay
He had my gun but he had a body mighty, anyway
He had my gun but he had a body mighty, not going to say
he had my gun but he had a body mighty, anyway
He had my gun but he had a body mighty, anysay
He had my gun but he had a body mighty, not going away
He had my gun but he had a body mighty, not going to say
He had my gun but he had a body mighty, anyway
I'm just a pretty boy, I'm not supposed to fuck a girl
I'm just a pretty boy, living in this fucked up world

All my life, who am I?
I'm just a faget!
Faget!
I'm a faget!
Faget!
I'm not a faget
What am I?
Faget

Jumat, 06 April 2007

Karya Gerilya Vol 1

Kau saja


Dalam detik penantianku
Dalam lautan kelabuku
Berlutut aku memohon dalam doa
Bantu aku menemukan ujung gelap dari
hariku yang telah sekarat ini

Maukah kau menerangi jalanku

Pria adalah peluru
Dari waktu ke waktu dialah si perkasa
Aku mungkin adalah dia, aku terus mencoba
Dan dari sini pula ternyata aku masih tetap, butuh, menunggu, dan menunggu jawabanmu
Kali ini aku takkan segan untuk mengatakan aku butuh kau hari ini

Maukah kau menerangi jalanku

Saat aku tersesat, lelah dan putus asa
Ketika jalan pikiranku tak lagi lurus
Atau ketika ternyata pria bukanlah peluru
Maukah kau menerangi jalanku?!!!


‘06
Lee Hay






reLLeT

Anu
Mata pisau yang menggorok kulit leherku
Gigi gunting yang memutuskan urat nadiku
Jarum jahit yang menusuk pupilku
Hingga darah menenggelami jasadku entah kutahu
Air mata darah gelap tak kusadar leleh tanpa waktu.
Anu
Tidak!. Bukan!!. Anu!!!
Melainkan kau
Who until the end of time captivate me through
Hilang diuntal halimun sendu.

Kota Lumpur, 27 November 2006
relleT